REPUBLIKA.CO.ID, KENDARI-- Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan suatu perkara dinilai arogan karena mengesampingkan putusan hukum lembaga peradilan lainnya.
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat menempatkan lembaga tersebut merasa superbodi dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara," kata praktisi hukum Abdul Rahma di Kendari, Rabu (19/12).
Contohnya, pasangan calon gubernur dan calon bupati di suatu daerah pemilihan menggugat melalui pengadilan tata usaha negara (PTUN) karena tidak ditetapkan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Pemohon memenangkan gugatan dengan putusan PTUN membatalkan keputusan KPUD dan memerintahkan KPUD untuk mengikutsertakan pemohon sebagai calon yang akan dipilih.
Namun, Mahkama Konstitusi tidak menjadikan keputusun PTUN tersebut sebagai pertimbangan hukum dalam memutuskan sengketa pemilihan kepala daerah.
Wajar kalau sebagian kalangan masyarakat pemerhati hukum menilai institusi peradilan konstitusi tersebut "tebang pilih" dalam memeriksa suatu perkara, katanya.
Oleh karena itu, kata Abdul Rahman yang juga kandidat doktor pidana, sependapat adanya wacana pengembalian kewenangan putusan hukum tertinggi ke Mahkama Agung.
"Awalnya eksistensi MK mendapat dukungan penuh dari publik namun dalam perjalanannya dinilai tidak independen dan kredibel karena terkesan arogan dalam memutuskan suatu perkara," kata Rahman yang mengaku sudah pengalaman dalam persidangan di Mahkama Konstitusi.
Ia menambahkan Mahkama Konstitusi tidak bisa bersih dari pengaruhi luar dalam memeriksa suatu perkara karena sebagian hakim konstitusi berlatar belakang politisi dari partai tertentu.
"Kata siapa bebas kepentingan. Sebagian dari mereka adalah hakim yang berlatar belakang politisi. Sebagai manusia biasa pasti memiliki ikatan emosional dari partai yang membesarkannya," kata Rahman.