Rabu 19 Dec 2012 13:14 WIB

Maghrib Mengaji

Sejumlah anak yatim tengah belajar mengaji di sebuah panti asuhan (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Sejumlah anak yatim tengah belajar mengaji di sebuah panti asuhan (ilustrasi).

Alunan ayat demi ayat amat merdu dibacakan oleh bapak-bapak yang mengaji. Banyak di antara mereka yang tetap duduk manis di masjid usai sholat Maghrib. Namun, kemanakah para generasi mudanya?

Waktu aku masih kecil, setiap hari sehabis sholat Maghrib, ramai-ramai anak kecil seusiaku belajar mengaji. Sepuluh menit sebelum adzan, kami berbondong-bondong berangkat ke masjid dengan tidak lupa membawa mukena. Saat itu, aku masih membaca Iqro.

Selesai sholat, kami mulai mengaji. Suara kami bergantian dan bersahutan membaca huruf-huruf Hijaiyah. Dengan didampingi guru, aku semakin paham akan berbagai tajwid. Hingga pada akhirnya, tibalah saatnya untuk melanjutkan Iqro 6 ke Alquran.

Sepuluh atau bahkan dua puluh tahun yang lalu, kita biasa hidup di tengah masyarakat yang secara rutin mengaji. Begitu Maghrib, kita semua masuk ke majelis taklim atau pesantren untuk menjalankan ibadah tersebut.

Budaya Maghrib mengaji merupakan istilah yang begitu melekat dalam kebiasaan masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Mulai dari desa terpencil yang sepi, hingga kota besar yang penuh hingar bingar kehidupan duniawi, semua tahu itu. Semua mengenal bahwa mengaji merupakan aktivitas yang akrab dalam sosiodemografis Islam Indonesia yang heterokultural dan agamis.

Sayangnya, rutinitas tersebut mulai luntur akibat perubahan pola perilaku masyarakat modern. Budaya ini terasa semakin luntur seiring majunya teknologi informasi, khususnya televisi. Berbagai tayangan seakan sengaja ditampilkan selepas Maghrib, agar perhatian semua orang bisa terfokus pada televisi.

Sementara itu, beban mata pelajaran di sekolah pun kian meninggi. Sehingga, anak-anak pulang sore dari sekolah dan tidak sempat lagi mengaji di masjid.

Belum lagi kehadiran berbagai media sosial yang seakan menghipnotis seluruh anak muda. Mereka seperti terbuai akan kehadiran Facebook, Twitter, dan semacamnya itu. Kemanakah teman-teman mengajiku dulu?

Sebenarnya kalau kita telaah lebih dalam, mengaji memberikan dampak yang luar biasa dalam berbagai aspek. Di antaranya, sbb:

- Pertama, yaitu aspek afektif; Aspek ini secara tidak langsung mampu mempengaruhi sifat anak menjadi lebih peka terhadap sifat ke-Tuhanan atau Tauhid.

- Kedua, aspek kognitif; Dengan menghafal surat pendek atau membaca susunan ayat Alquran, kita dapat memperkuat struktur otak akan kemampuan mengingat dengan menggunakan daya nalar.

- Ketiga, aspek psikomotorik; Dengan membaca Alquran menggunakan tekanan dan lafal tertentu, kita dapat memperkuat pernapasan dan kesehatan otak serta melancarkan aliran darah.

Begitu besarnya manfaat mengaji, sehingga Menteri Agama RI Surya Darma Ali (SDA) mencanangkan "Gerakan Maghrib Mengaji" atau disingkat “Gemar Mengaji”. Sayang, ide yang sangat baik itu ternyata sebatas slogan.

Jika memang wacana itu bisa direalisasikan, setidaknya anak-anak atau remaja yang sedang tumbuh berkembang di tengah arus globalisasi dan liberalisasi ini bisa membendung masuk pemikiran negatif. Sebab dengan mengaji, sejatinya bisa menjadi penyaring hal-hal buruk.

Refleksi diri

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq:1-5).

Bacalah, itulah firman Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Berawal dari aktivitas membaca, semua rahasia ilmu akan terbuka. Dengan membaca, kita dapat membuka pintu gerbang pengetahuan yang sebelumnya tidak pernah kita ketahui.

Membaca sudah menjadi awal dari wahyu ke-Tuhanan. Hal ini memberi gambaran dan pemhaman bagi orang yang berpikir, bahwa aktivitas membaca sangat penting di hadapan Tuhan. Tentunya, aktivitas membaca  memberi makna dan manfaat yang dahsyat bagi manusia yang membiasakannya.

Kalau dicermati lebih dalam, perintah membaca di atas bersifat umum. Meskipun demikian, aktivitas membaca Alquran hendaknya lebih mendapat prioritas. Dengan membaca Alquran, manusia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.

"Ironis dan menyedihkan", itulah komentar yang pantas diberikan kepada masyarakat Islam yang enggan membaca. Akhirnya, perlu kita renungi kembali makna wahyu pertama (QS.Al-Alaq:1-5) agar kita mampu menjadi manusia yang intelek, bangsa yang maju, bangsa yang terkenal dengan budaya dan peradaban yang tinggi di tingkat intelektual. Apakah kebiasaan mengaji mengurangi waktu 24 jam kita?

Kalau tidak dimulai dari diri sendiri, siapa lagi?

Deasy Amalia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement