Selasa 18 Dec 2012 19:28 WIB

Bhinneka Tunggal Ika, Toleransi, dan Alquran (1)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sudah menjadi fakta keras sejarah Indonesia yang kita warisi dari Pemerintah Hindia Timur Belanda merupakan sebuah bangsa dan negara yang secara kultural, agama, suku, dan golongan benar-benar bercorak pluralistik dengan segala kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

Kekuatannya terutama terlihat pada keragaman budaya, adat-istiadat, bahasa, sejarah, dan etnisitas bak mozaik yang sangat kaya, menawan, dan tidak akan pernah kering untuk dijadikan sumber kajian dan inspirasi.

Sudah berapa banyak etnolog, antropolog, dan pakar ilmu sosial, domestik dan asing, yang menulis disertasi tentang keragaman budaya nusantara ini. Tetapi, jika kita lengah dan tidak arif dalam menjaga dan menganyam mozaik tersebut, keragaman itu dapat menjadi sumber konflik antarsubkultur karena yang mungkin dipicu oleh kebanggaan dan keunggulan etnonasionalisme yang berlebihan.

Pengalaman kita selama ini telah menun- jukkan, kekuatan nasionalisme Indonesia sebagai perekat keragaman tidak selalu berdaya menghadapi gejolak etno-nasionalisme itu.

Bentuk ekstrem berupa gerakan separatis yang berapa kali telah mengguncangkan bangunan keindonesiaan kita. Ini adalah bukti nyata betapa masih rentannya bangunan kultural bangsa ini, sekalipun penggunaan bahasa Indonesia sudah relatif merata. Sebagai bangsa yang belum berusia satu abad, keindonesiaan itu masih dalam suatu on- going process (proses yang masih berjalan).

Fenomena inilah yang tidak selalu dicermati sebagian (besar) elite politik nasional dan daerah. Isu putra daerah yang harus memimpin daerah tertentu jika ditempatkan dalam perspektif Sumpah Pemuda adalah sebuah kemunduran, jika bukan sebuah penyimpangan dari cita-cita besar dan mulia tentang keindonesiaan kita.

Memang kita sudah punya sasanti bhinneka tunggal ika yang kita warisi dari Mpu Tantular, pujangga kenamaan kerajaan Majapahit di abad- abad silam, tetapi di era Indonesia merdeka sasanti yang bernilai historis itu masih dalam proses menemukan formatnya yang efektif untuk memperkuat upaya integrasi nasional.

Pekerjaan ini jelas tidak mudah, karena pilar- pilar keindonesiaan kita secara kultural masih belum mantap benar, sekalipun telah dipatri dengan Sumpah Pemuda 1928. Dengan demikian, gagasan dan imbauan para pendiri bangsa dalam ungkapan antisipatif berupa nation and character buildingmasih tetap relevan untuk situasi kebangsaan kita sampai hari ini.

Memang tidak mudah membangun pilar- pilar kebangsaan dengan karakter yang kokoh pada sebuah bangsa dan negara yang demikian beragam yang terdiri atas 13.466 pulau. Maka itu, tidaklah salah jika ada yang menamakan Indonesia sebagai sebuah benua maritim.

Sekiranya sasanti bhinneka tunggal ika dan semangat Sumpah Pemuda telah dipahami dan diamalkan dengan baik dan benar, sikap warga negara yang sah tidak lain kecuali mengem- bangkan kultur toleransi dengan menghalau kecenderungan intoleransi sampai ke batas- batas yang sangat jauh. Gejala antitoleransi yang marak akhir-akhir ini dilatari paham agama sempit yang kadang-kadang berhimpit dengan etno-nasionalisme.

Ini semua telah merusak dan mengacaukan pabrik sosial Indonesia yang dulu dengan susah payah telah dirancang dan dibangun oleh para pendahulu kita. Khusus mengenai intoleransi yang dipicu oleh paham agama tertentu, saya ingin mengutip dua ayat Alquran dalam surah yang berbeda, keduanya turun di era Madinah (622-632).

Pertama, saya turunkan makna ayat 13 dalam Surah al-Hujurat yang sering dikutip orang itu berbunyi, "Wahai segenap umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti."

 

Artinya, terbentuknya bangsa-bangsa dan suku-suku dalam berbagai periode sejarah tidak untuk mencabik-cabik dan meruntuhkan peru - mahan kemanusiaan, tetapi untuk menguat kan - nya sehingga planet Bumi ini tidak terus berdarah-darah semata-mata karena perbedaan yang melahirkan paham sempit dan sikap tak toleran. Bumi ini disediakan Allah untuk seluruh makhluk, bukan hanya untuk jenis manusia, sekalipun manusialah yang diberi tanggung jawab untuk menjaga dan mengelolanya.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement