REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--DPR telah memberikan keterangan tertulis dalam putusan pengujian Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memuat ketentuan mengenai pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan di luar area terdampak lumpur Lapindo, Sidoarjo.
"DPR telah memberikan keterangan secara tertulis," kata Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, M Akil Mochtar, di Jakarta, Senin (13/12).
Akil mengatakan bahwa MK berhak meminta keterangan kepada semua pihak yang dianggap perlu untuk mengetahui latarbelakang pembentukan dari UU yang diuji.
"DPR dan pemerintah bukan para pihak, tapi pemberi keterangan. Dalam UU, MK berhak untuk meminta keterangan kepada DPR untuk mengetahui kronologis dan latarbelakang pembentukan UU," kata Akil.
Terkait laporan pemohon Pasal penanggulangan korban lumpur Lapindo ini, Letjen TNI (Purn) Suharto, Akil justru mempersilakan.
"Itu lebih baik, agar tahu siapa yang 'bloon' (bodoh) di sini," kata Akil menanggapi laporan terhadap sembilan Hakim MK ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri atas dugaan keterangan palsu atau fiktif pada putusan MK Nomor 53/PUU 10 Tahun 2012 tentang Kasus Lapindo.
Akil juga menegaskan bahwa MK memutus norma yang berlaku dan tidak mengurus perkara konkrit. "Kalau nggak ngerti perkara di MK 'mending' (lebih baik) tidak usah mengajukan perkara," kata Akil.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Letjen (Purn) Suharto melalui kuasa hukumnya, Taufik Budiman, melaporkan sembilan hakim MK atas dugaan pidana memalsukan data atau keterangan palsu atau fiktif pada putusan MK.
Taufik mengatakan bahwa berdasarkan salinan yang pihaknya terima ada beberapa informasi yang patut diragukan keabsahannya, dimana tiba-tiba muncul begitu saja data siluman.
"Karena hal ini tidak pernah ada dalam proses persidangan tiba-tiba dalam putusan ada kutipan cukup panjang, kemudian menjadikan dasar untuk mengambil keputusan oleh majelis MK, seperti ini yang akan kita ajukan ke Mabes Polri," kata Taufik, saat melapor ke Bareskrim Mabes Polri.
Putusan tersebut dianggap janggal karena dalam putusan tersebut tiba-tiba ada keterangan dari DPR, tetapi selama proses kasus itu, DPR tidak pernah sekalipun hadir.
"Keterangan DPR yang muncul di dalam putusan ini justru juga berbeda seperti yang diketahui selama ini terkait kasus Lapindo publik tahunnya DPR bilang kasus Lapindo itu bencana alam, minimal fenomena alam, tiba-tiba kenapa dalam putusan ini mengatakan bahwa kasus Lapindo itu, bukan bencana alam," kata Taufik.