REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Indonesia saat ini dinilai kurang memiliki pemimpin yang tegas dan cepat dalam mengambil suatu keputusan. Selain itu, pemimpin yang ada saat ini dinilai juga kurang merakyat. Demikian disampaikan pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Rubijanto Misman.
"Memang susah mencari figur-figur yang seperti ini. Jadi, saya berharap, presiden dalam lima tahun ke depan (presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden 2014, red.), di samping orangnya tegas, berani mengambil risiko, cepat dalam mengambil keputusan, dan mau melindungi rakyatnya," kata dia kepada ANTARA di Purwokerto, Jumat (14/12).
Pernyataan tersebut sebagai respon terkait munculnya beberapa nama yang bakal meramaikan bursa calon presiden pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Mengenai hal itu, setiap warga negara memiliki hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden.
Kendati sah-sah saja melakukan langkah politik tersebut, menurut dia, setiap warga negara tetap harus menakar kemampuannya. Sehingga tidak hanya berpatokan pada popularitas, yang berlabel pada tokoh masyarakat dan seniman.
"Sering kali ada kesan orang itu terjebak dalam popularitas sebagai seniman atau artis. Kalau kita menelusuri 'track record-nya' (rekam jejaknya, red.), saya tidak pernah dengar orang-orang itu punya 'track record' yang berkaitan dengan kemampuan manajerial maupun 'leadership' dalam suatu organisasi, apalagi ini suatu negara. Saya melihatnya seperti latah," tuturnya.
Sejumlah artis misalnya, dicontohkan dia, ikut mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Pencalonan para tersebut, dinilai dia, sering kalai dilihat sebagai sebuah glamor. Karena, hal itu disebabkan sosok keartisannya yang memiliki konstituen, yang tidak lain para penggemarnya dan wajar jika kemudian dengan setia mendukung.
"Tetapi kita tidak tahu persis kompetensi dan kredibilitas yang bersangkutan. Jadi harus dilihat 'track record-nya', latar belakangnya dia dulu," kata mantan Rektor Unsoed Purwokerto ini.
Pemimpin bangsa, ujar dia, tidak hanya sekadar bermodalkan pada popularitas seseorang. Melainkan juga menyertakan penilaian-penilaian lain, Menurut Rubijanto, jika orang itu merupakan seorang akademisi, dia harus mempunyai prestasi yang bagus dalam memimpin perguruan tinggi serta memiliki kemampuan-kemampuan yang bagus dalam memajukan institusi sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Jika orang itu berlatar belakang militer, dia harus memiliki karier yang bagus, dekat dengan masyarakat, dan punya kepedulian yang tinggi. "Kemudian kalau dia seorang politisi, karier politiknya juga harus jelas, bukan orang yang 'kutu loncat', punya integritas yang tinggi," katanya.
Rubijanto mengaku melihat fenomena menarik dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang memunculkan figur Joko Widodo (Jokowi). Sebelum mencalonkan diri sebagai gubernur dalam Pilgub DKI Jakarta, kata dia, Jokowi memiliki rekam jejak yang luar biasa walaupun hanya sebagai Wali Kota Solo.
"Itu sudah menjadi suatu modal. Ironisnya dia bisa seperti mengais, menghipnotis masyarakat, dan ternyata terbukti. Kita susah mencari figur seperti itu," katanya.
Di bagian lain, dia mengaku khawatir dengan adanya popularitas yang dikondisikan agar masyarakat berempati terhadap sosok tersebut, sehingga bukan merupakan empati murni.
"Jangan sampai karena dia menjadi elit politik yang sementara ini menjadi pemimpin, harus digantikan istri atau suaminya, anaknya, dan segala macam. Kita merasakan sesuatu kekhawatiran karena tidak jaminan orang yang dipersiapan itu pasti bisa," katanya.
Ia mengatakan Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga butuh sosok pemimpin tegas, cepat dalam mengambil keputusan, dan merakyat.
"Kadang-kadang muncul sosok pemimpin yang tidak pernah kita duga, seperti Jokowi yang muncul dari wali kota, bukan orang-orang yang berbintang empat. Yang kita butuhkan saat ini pemimpin yang merakyat dan betul-betul bisa memerhatikan kebutuhan saat ini," katanya.