Kamis 13 Dec 2012 17:41 WIB

Yusril: Birokrasi tak Ramah Investasi

Yusril Ihza Mahendra
Foto: Antara
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Iklim birokrasi di Indonesia dinilai tidak ramah terhadap investasi. Bahkan, para pejabat cenderung mencari keuntungan pribadi. Tidak heran jika kemudian banyak yang terjerat kasus korupsi. Kondisi itu membuat rakyat dirugikan dan kalangan pengusaha menjadi korban karena dipaksa situasi untuk melakukan penyuapan.

"Akibatnya masyarakat menilai negatif pengusaha. Negeri ini aneh, pengusaha dimusuhi, padahal pengusaha berperan besar menyejahterakan rakyat. Seberapa besar negara bisa mempekerjakan rakyatnya? Makanya kita butuh pengusaha," kata pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, di Jakarta, Kamis (13/12).

Pemerintah, menurut dia, harus membangun iklim yang baik bagi investasi demi cepatnya pertumbuhan perekonomian. Selain itu juga harus segera ada pembenahan agar kalangan investor tidak mudah terjebak dalam perilaku koruptif aparat birokrasi.

Menurut mantan Mensesneg tersebut, salah satu faktor yang menyuburkan korupsi di daerah adalah otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung sampai dengan tingkat kabupaten-kota.

Pada kesempatan yang sama pakar hukum pidana, Prof Indriyanto Senoaji, mengatakan selain masalah birokrasi yang buruk, maka salah satu penyebab banyaknya kepala daerah terlibat korupsi adalah begitu tumpang-tindihnya UU tentang korupsi sehingga menimbulkan kerancuan antara korupsi, pemerasan oleh pejabat dan penyuapan.

"Kalau melihat kasus yang terakhir ini (kasus Buol), dari fakta-fakta sebetulnya kasus itu lebih banyak unsur pemerasan daripada suapnya. Tapi karena UU-nya tumpang tindih maka hakim bebas menerapkan pasal. Begitu dia menerapkan pasal penyuapan, maka unsur pemerasannya hilang dan akibat hukumnya ringan (bagi pejabatnya)," bebernya.

Menurut Indriyanto Senoaji, UU tindak pidana korupsi perlu segera diperbaiki agar pasal tentang suap tidak terlalu banyak. Di banyak negara sebenarnya suap tidak termasuk dalam tindak korupsi.

"Di sini memberi uang kepada pejabat disebut korupsi. Kalau saya pengusaha, kalau saya memberi uang ke pejabat pakai uang sendiri, di mana kerugian negaranya? Dulu saya ikut merumuskan UU ini, tapi bahkan sekarang saya jadi bingung sendiri," katanya.

Ditegaskan, perlu ada perbaikan definisi antara pemerasan dan penyuapan. Sebab saat ini banyak pejabat daerah yang meminta-minta uang untuk mengurus perizinan. Jika, tidak diberi uang, izin tidak akan keluar. Untuk kasus seperti ini, lanjutnya, jika dilaporkan ke penegak hukum tidak bisa karena tidak ada bukti, kecuali dengan melakukan penjebakan.

"Kalau melakukan penjebakan untuk menjerat orang, itu ilegal. Bukti-bukti yang didapat tidak bisa dipakai dalam pengadilan. Karena tidak ada solusi, akhirnya pengusaha memberi uang saja ke pejabat. Namun, kalau memberi uang jadinya dituduh suap. Ini kan dilematis," jelasnya.

Senada dengan itu Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hukum dan Hubungan Antarlembaga, Bambang Soesatyo, mengatakan, penyebab maraknya kasus korupsi antara lain karena buruknya mental dan minimnya pemahaman serta rumitnya birokrasi pemerintah.

"Menurut persepsi para pengusaha, sangat rumit urusan birokrasi pemerintahan dan tidak adanya kejelasan serta kepastian hukum terkait dengan pengurusan perizinan,dan lain-lain," katanya.

Untuk menyelesaikan hambatan birokrasi tersebut maka beberapa pengusaha terpaksa melakukan berbagai macam cara dan strategi dunia bisnis. Tetapi terkadang, jalan yang dilakukan dapat dikriminalisasi karena alasan penegak hukum bahwa perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum pidana korupsi.

"Kondisi yang tidak baik ini harus dicarikan solusinya demi perlindungan dan jaminan rasa aman bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan kegiatannya," ujar Bambang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement