Ahad 09 Dec 2012 18:21 WIB

Sade, Kampung Sasak yang Unik

Rep: Andi Nur Aminah/ Red: Heri Ruslan
Kampung Sasak Desa Sade, Lombo.
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Kampung Sasak Desa Sade, Lombo.

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Desa Sade, merupakan salah satu kampung yang dihuni suku Sasak, salah satu suku asli di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sabtu (8/11) lalu, Republika sempat berkunjung ke desa Sade. Desa ini, cukup mudah terjangkau. Dari Bandara Praya Lombok, hanya butuh waktu sekitar 20 menit menuju arah Selatan. Desanya pun terletak di tepi jalan, sehingga sangat mudah menjangkaunya.

Saat memasuki gerbang desa Sade, nuansa perkampungan tradisional langsung terasa. Bangunan-bangunan rumahnya terbuat dari kayu dan atap jerami yang menjuntai. Seorang pemuda Sasak bernama Awang  pun berbagai cerita.

Menurut Awang, desa Sade adalah desa Sasak yang masih dipertahankan keasliannya. Menurutnya saat ini, jumlah penduduk di Desa Sade sekitar 700 orang.  Namun jumlah rumah yang ada hanya 150 rumah. Bangunan rumah tersebut tidak bisa ditambah lagi karena sudah tidak ada tempat.

Perkampungan seluas lima hektare ini, terasa padatt. Satu rumah dengan lainnya saling berdempetan. Hanya ada jalan seluas satu meter yang memisahkan. ''Makanya satu rumah bisa dihuni lima sampai enam  kepala keluarga,'' ujar Awang.

Masyarakat suku Sasak, masih melakukan pernikahan dengan kalangan mereka sendiri. Meski demikian, kata Awang, tidak ada larangan bagi orang Sasak menikah dengan warga lain dari luar komunitasnya. Pernikahan dengan sesama warga Sasak, lebih didkarenakan ketidakmampuan mereka memenuhi syarat sebuah pernikahan.

Awang mengatakan, jika menikah dengan sesama orang Sasak, mereka cukup menyiapkan uang Rp 1 juta saja. ''Tapi kalau dengan orang luar, biasanya minta disiapkan mahar satu atau dua ekor sapi,'' ujarnya.

Masyarakat Sasak, bermata pencaharian sebagai petani. Sementara kaum perempuannya, tinggal di rumah membuat kain tenun ikat khas suku Sasak serta membuat kerajinan gelang dan kalung dari berbagai manik-manik. Sawah yang dimiliki adalah sawah tadah hujan. Karena itu, mereka hanya bisa panen setahun sekali.

Padi yang telah dipanen disimpan di sebuah lumbung yang diberi nama Berugak Sekenam. Menurut Awang, yang bisa menyimpan padi ke dalam lumbung tersebut hanyalah orang-orang yang sudah tua. ''Kalau anak muda yang menyimpannya, akan jadi mandul,'' ujarnya. Begitulah kepercayaan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement