REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Toleransi beragama sangat penting dilakukan demi menciptakan iklim kehidupan yang kondusif. Direktur The Dialogue Institute, Temple University USA, Dr. Racelle Weimen, agar toleransi bisa terjaga perlu memahami perbedaan secara global.
"Untuk dapat belajar toleransi, kita harus sadar secara global. Meskipun orang Islam di Indonesia merupakan mayoritas, akan tetapi di belahan dunia lain misalnya di Filipina, Islam adalah minoritas," ujar Racelle saat memberikan kuliah tentang toleransi di hadapan 200 mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Depok, pada rilis yang diterima ROL, Selasa (5/12).
"Untuk itu, kita semua harus sadar bahwa berbagai 'tekanan' atau 'label' yang diberikan kepada minoritas dapat terjadi kapan saja, di belahan dunia lain."
Berdiskusi tentang label yang sering dikenakan kepada orang lain, Racelle mengemukakan sebuah analogi. "Bagaimana bila seorang bayi muslim ditukar dengan seorang bayi Yahudi, kemudian diasuh oleh kedua orang tua yang berbeda secara biologis. Hasilnya meskipun dia adalah seorang muslim misalnya, namun dia akan tumbuh sebagai seorang Yahudi. Demikian juga sebaliknya. Label merupakan konstruksi sosial dari masyarakat yang bersifatnya artifisial," papar Racelle.
Racelle mengingatkan agar kita jangan sampai kembali ke zaman, dimana ideologi fasisme berkembang seperti di Jerman dengan Nazi. "Prasangka Hitler dengan fasismenya, menjadi contoh prasangka melahirkan rasionalitas dari irrasional," ujar Racelle. (baca: Yahudi AS Bicara Toleransi).