REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri minyak dan gas bumi (migas) meminta pemerintah dan DPR segera menyelesaikan revisi UU Migas Nomor 22 tahun 2001. Para pebisnis ini meminta paling lambat hal ini diselesaikan Mei tahun depan.
"Kita harap semua masalah ini selesai," kata Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) 2013 sekaligu Direktur Utama Medco Energi Lukman Mahfoedz, Rabu (5/12). Lambannya pembahasan bisa mempengaruhi produksi.
Pasalnya, revisi UU Migas akan menjadi dasar bagi pembentukan lembaga baru yang menggantikan eks BP Migas. Hal ini penting untuk kelangsungan pengembangan aksi korporasi ke depan. Meski demikian, ia menginginkan agar pembahasan revisi UU Migas dilakukan secara benar dan sempurna. "Kami harap UU yang akan dibuat substain lama dan tidak berubah," tegasnya.
Hal senada juga dikatakan Mantan Presiden IPA 2012 yang juga Presiden Direktur Total E&P Indonesie, Elisabeth Proust. Pasalnya ini akan sangat mempengaruhi investasi. Industri yang bernilai 18 miliar dolar AS per tahun ini membutuhkan jaminan dari pemerintah. "Kita butuh long term stability," katanya.
Diungkapkannya, stabilitas ini membutuhkan aturan yang bisa diterapkan dalam jangka panjang. Bahkan, menurutnya aturan ini harus anti terhadap politik. Sementara itu, terkait cost recovery, ia meminta agar ke depan kedua lembaga negara itu memisahkan biaya pengembalian investasi ini dari postur APBN. Karena pada dasarnya, cost recovery adalah biaya investasi.
Persoalan ini mempengaruhi penuruan investasi karena perusahaan tak bisa maksimal menanamkan modal. Anggapan uang yang dipakai berasal dari negara membuat tak ada optimalisasi dana yang bisa dikeluarkan. "Ini akhirnya berpengaruh pada produksi dan eksplorasi," katanya. Padahal, cost recovery seharusnya tergantung keputusan perusahaan.