Rabu 05 Dec 2012 14:52 WIB

Tuntut Kenaikan Upah, Ini Ancaman Buruh di Sumut

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN --  Massa buruh di Sumatera Utara mengancam melakukan aksi unjuk rasa minimal selama tiga hari atau sampai Jumat, kalau Pelaksana tugas Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho tidak menerima tuntutan pekerja menaikkan upah.

"Kami meminta Plt Gubernur Sumut menjamin akan menolak menandatangani UMK (upah minimum kota/kabupaten) di bawah Rp2,5 juta per bulan dan sekaligus meminta UMP (upah minimum provinsi) menjadi Rp2.2 juta dari yang ditetapkan dewasa ini Rp1,375 juta," kata Koordinator aksi massa buruh dari kawasan Belawan, Medan, Parulian Sinaga, di Medan, Rabu.

Dia mengatakan itu di sela mengkoordinir ratusan buruh dari arah Belawan di Lapangan Merdeka Medan untuk menuju Kantor Wali Kota Medan dan Gubernur Sumut.

Aksi mereka membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil ketakutan dan lalu lintas menjadi macet total di Kota Medan.

Menurut dia, aksi unjuk rasa pekerja kali ini dengan sebutan Pekerja Buruh Melawan difokuskan di empat titik yakni Belawan, Binjai, Tanjung Morawa dan Bandara Polonia Medan.

Sebanyak 17 serikat pekerja antara lain SBI 1992, SBSI dan dan ditambah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga bantuan hukum (LBH) Medan dan Trisula, kata dia, sepakat untuk melakukan unjuk rasa minimal hingga tiga hari untuk menuntut Plt Gubernur Sumut mengubah SK Penetapan UMP 2013 yang hanya sebesar Rp1,375 juta dan UMK Medan Rp1,460 juta.

"Pokoknya aksi akan terus berlanjut kalau pemerintah tidak memenuhi tuntutan pekerja,"kata Parulian Sinaga.

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut berharap pemerintah bersikap tegas menyikapi aksi unjuk rasa buruh yang sudah meresahkan pengusaha.

"Terus berlangsungnya unjuk rasa dan diikuti dengan aksi sweeping menunjukkan kondisi bisnis tidak kondusif dan itu bisa merugikan pekerja sendiri, pengusaha dan nama daerah maupun Indonesia di mata internasional,"katanya.

Pemerintah, kata dia, harus tegas menyatakan bahwa penetapan UMP dan UMK itu sudah sesuai aturan dimana besaran upah mengacu pada hitungan berbagai komponen dan merupakan hasil putusan dari berbagai terkait termasuk perwakilan pekerja.

"UMP dan UMK tidak bisa begitu saja diubah-ubah terus apalagi kalau hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan buruh. Selain melanggar hukum, perubahan upah terus menerus dengan tren naik bisa membahayakan termasuk ancaman PHK (pemutusan hubungan kerja) dari perusahaan,"katanya.

Kalau pemerintah mengabulkan tuntutan UMP dan UMK buruh tetapi perusahaan nyatanya tidak mampu, mau tidak mau pasti ada PHK baik untuk mengurangi jumlah pekerja atau perusahaan sekaligus menutup usaha, kata Laksamana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement