REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pemerintah enggan mengakses peternakan sapi perah di kawasan rawan bencana (KRB) Merapi. Padahal, hampir 95 persen penduduk di lokasi tersebut hidup dari hasil produksi susu sapi.
Peternak di wilayah Srunen, Sukiyo (35) mengatakan, selama ini belum pernah ada pantauan dari pemerintah mengenai hewan ternak di wilayahnya. Padahal, populasi sapi di kawasan itu tergolong banyak.
"Hampir setiap KK di Dusun Srunen minimal mempunyai satu sapi perah," kata Sukiyo pada Republika, Selasa (4/12)
Menurut Sukiyo, ada lebih dari 150 ekor sapi perah yang dimiliki warga Srunen. Jumlah itu tentunya lebih banyak bila di bandingkan dusun lainya, yang berada di kawasan aman bencana. Contohnya, Dusun Singlar, sampai saat ini, populasi sapi di kawasan tersebut baru mencapai 80 ekor.
Staf Seksi Kesehatan Masyarakat Feteriner, Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Sleman, Widya Nuswantoro mengatakan, pihaknya memang belum memantau peternakan kawasan Srunen dan sekitarnya. Pasalnya, wilayah tersebut merupakan KRB yang dilarang pemerintah.
Meskipun populasi peternakan di lokasi tersebut dinilai banyak. Namun, akses pelayanan terhadap masyarakat sangat dibatasi, sehingga kesehatan sapi di wilayah itu harus diurus mandiri oleh warga.
"Umumnya penyakit cacing banyak mewabah pada sapi-sapi tersebut, dan itu sangat mempengaruhi kualitas produksi susunya," kata Widya.
Sedangkan, Widya mengatakan, takaran yang harus dijual koperasi sebanyak 4000 liter per hari, Menurut indikasi yang didapat, penyumbang susu paling banyak berada di wilayah KRB.