REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU – Bukan budayawan sejati jika tak menyindir para pemimpin, mungkin itu gambaran budayawan Melayu, Tengku Nasaruddin Said Effendy. Dalam Dialog Melayu, tokoh yang dikenal sebagai Tenas Effendy ini mengritik para pemimpin yang kehilangan sifat teladannya.
“Pemimpin sekarang ini hanya menjadi tempat berlindung sebagian masyarakat saja. Mereka seperti pucuk pohon, semakin ke atas semakin sibuk melambai-lambai dan lupa pada akar yang ada di bawahnya,” kata Tenas, Selasa (4/12).
Banyak orang Melayu, katanya, sudah melupakan asas kebersamaan Melayu, yaitu “senasib sepenanggungan, seaib dan semalu”. Prinsip itulah yang kemudian akan bermuara pada tingginya harkat dan martabat suatu kaum dan bangsa. Namun, azas itu dinilainya tak tercermin lagi pada sosok sekarang.
“Banyak generasi muda khilangan contoh. Banyak pemimpin formal dan nonformal kehilangan teladan krn tidak menjadikan asas Melayu sebagai dasar berlaku,” katanya.
Sekarang orang banyak “beternak” masalah. Menurut Tenas, tak jarang pula pihak di atas yang membuat masalah, yang di bawah tak bisa menyelesaikan…
“Padahal jika di atas air di hulu jernih, maka akan jernih sampai ke muara. Jika keruh di hulu, maka keruh pun di muara. Sekarang masalahnya itu ada di atas,” ujar Tenas.
Sentilan Tenas tak berhenti di situ. Ia juga menilai banyak kebijakan pusat yang mengkerdilkan budaya daerah. Lebih parah lagi, kebijakan otonomi daerah yang seharusnya membuat budaya daerah lebih maju, malah menjadi terbalik. “Yang ada, malah pemimpin-pemimpin yang berwawasan sempit dan loka. Muncul istilah ‘putra daerah’ yang tak jelas kriterianya.”
Menurutnya, warga Melayu yang tersebar di Asia Tenggara ini mencapai 327 juta jiwa. Namun, banyak yang melupakan azas tahu diri dan bagaimana hidup berpadu dan hormat menghormati sehingga muncul masalah, rasa cemburu, goyah, dan rusaknya perpaduan.
Budaya Melayu adalah budaya terbuka dan semua unsur yang masuk justru memperkaya budaya. “Kalau datang kecil kami terima dengan tangan, kalau datang besar kami terima dengan niru,” katanya. “Tahu niru? Itu alat untuk mengayak dan menampis.”
Globalisasi bukannya hal yang harus ditakuti, namun diterima dengan tangan terbuka. “Namun, kita ayak dan tampis. Kita kadang silau dengan pendapat orang luar. Mereka mungkin hebat, tapi soal jati diri, maka kita yang paling tahu. Jadi carilah jati diri itu pada diri sendiri, di dusun sendiri, di kampung sendiri.”
Dialog Budaya Melayu ini digelar 3-5 Desember yang dihadiri para peserta dari 17 provinsi serta dari Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Tak hanya dialog, acara bertajuk "Revitalisasi Kearifan Budaya Melayu, Kini dan Masa Datang" ini juga menampilkan pertunjukan budaya dan pameran budaya Melayu. Dialog ini hasil kerja sama Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Riau dan Lembaga Adat Melayu Riau.