REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat pengambilan keputusan pembangunan MRT yang dilakukan di Balai Agung berakhir tanpa keputusan. Rapat yang dimulai sekitar pukul 15.00 WIB dihadiri Gubernur, Wakil Gubernur, Dirjen KA, Bappenas, PT MRT, LSM, pakar transportasi, dan masyarakat yang berakhir dengan lebih banyak didominasi aspirasi masyarakat yang membuat panas jalan rapat.
“Secara prinsip kami mendukung MRT subway dan tanpa hutang sebagai angkutan masal tapi persoalannya adalah transparansi,” ujar Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Darmaningtyas, saat rapat, Rabu (28/11).
Darmaningtyas mengatakan, awalnya yang direncanakan adalah subway, tapi berubah menjadi MRT, sebab dalam MRT terdapat unsur jalan layang seperti yang dikehendaki Jepang sebagai pemberi pinjaman.
Menurutnya, Jepang tidak akan memberikan dana jika tidak mempunyai kepentingan. Dia mengatakan dengan begitu maka pemerintah menyodorkan diri untuk dijajah. “Profesor, Doktor, mau dikadalin,” kata dia.
Selain Darmaningtyas, Hari Wibowo, dari masyarakat transportasi dari Matraman saat rapat mengatakan, transparansi paling mudah diletakkan di website. Karena itu, dia mempertanyakan studi yang katanya sudah dimulai 20 tahun tapi tidak bisa diakses melalui internet.
Menurutnya, tuntutan masyarakat hanyalah transparansi. Dia mengaku tidak memerlukan sosialisasi dengan biaya macam-macam sebab sosialisasi paling efektif dilakukan di website. Dia menilai, transparansi sangat diperlukan, karena keputusan gubernur dan wakil gubernur adalah keputusan rakyat. Sementara, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi publik.
Deputi Bappenas Bagian Sarana dan Prasarana, Dedi Priyatna, mengatakan sosialisasi dan kajian sudah dilakukan. Karena itu, pihaknya tetap meminta agar pembangunan sesegera mungkin.
Sementara, terkait pinjaman dia mengatakan pemerintah dalam hal ini DKI, Bappenas, dan KA yang mengusulkan pinjaman ke Jepang. Bukan Jepang yang meminta-minta. Karena itu, 30 persen kontain harus dari Jepang agar bunga pinjaman bisa lebih rendah. Selain itu, pilihan tekhnologi juga menjadi pertimbangan yang membawa ke Jepang.