Kamis 22 Nov 2012 16:55 WIB

Pakar: Presiden-Wapres tak Bisa Diproses Hukum Biasa

Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin
Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin, mengatakan ada dua warga negara yang secara konstitusi tidak bisa disidik atau dituntut melalui mekanisme penegakan hukum biasa. Yang dimaksud mekanisme tersebut adalah dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, atau KPK. Dua warga negara itu adalah yang menjadi presiden dan wakil presiden.

“Jadi dalam konstitusi kita memang presiden dan wapres tidak bisa dituntut melalui mekanisme penegakan hukum biasa, yaitu presiden dan wapres. Inilah dua warga Negara Indonesia yang memiliki privilege. Semua ini berlaku bagi semua warga negara, artinya semua warga negara akan diperlakukan sama ketika dia menjadi presiden dan wapres,” ujar Iman, dalam pernyataannya, Kamis (22/11).

Dia menanggapi upaya DPR, terutama kalangan penggagas Hak Angket Century yang terus mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memroses dan memidanakan Wakil Presiden Boediono di Gedung DPR, hari ini.

Dikatakannya, warga negara seperti ini hanya bisa disidik dan dituntut dengan menggunakan hak menyatakan pendapat langsung oleh rakyat melalui wakilnya di DPR. Oleh karena itu adalah hal yang salah secara konstitusi jika DPR justru menyerahkan penyelesaian hal ini kepada KPK. “Bandul penyelesaian kasus Bank Century itu tidak di mana-mana karena bandul itu hanya ada di DPR,” tambahnya.

Untuk menyelesaikan kasus itu, jika memang benar ada pelanggaran, maka  menurut Irman harus dilakukan melalui keputusan konstitusional bernama Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR. “Hanya melalui HMP DPR inilah satu-satunya jalan menyelesaikan dan menuntaskan kasus ini secara konstitusional. Di luar itu tidak ada mekanisme lain,” tegasnya.

Presiden atau wapres bisa dipidanakan atau tidaknya, kata dia, tergantung putusan konstitusional di MK dan atau MPR. Lagipula masalah pidana bukan unsur absolut yang harus dijalani.

Dia menilai, mereka yang sebenarnya memiliki HMP, tidak berani menggunakan hak konstitusionalnya. ”Makanya mereka lempar bola panas di KPK, seolah bandul ada di KPK, padahal sampai 2014 bandulnya ada di DPR,” jelasnya.

Pendapat serupa disampaikan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Iberamsjah. Para penggagas hak angket Bank Century hanya berani menuding KPK tidak serius mengungkap kasus itu. ”Mereka berupaya membodohi rakyat, padahal dengan langkah mereka, justru mereka menunjukkan ketidakpahaman mereka sama sekali akan aturan tata Negara. Rakyat melihatnya sebagai lelucon demokrasi,” imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement