Senin 12 Nov 2012 08:00 WIB

Ola pada Hari Rabu, 12 Januari 2000

Grasi (ilustrasi)
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Grasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Stevy Maradona

Ini kisah nyata. Kejadiannya 12 tahun yang lalu, tepatnya hari Rabu tanggal 12 Januari 2000. Lokasi kejadiannya di Bandara Soekarno-Hatta. Saya menceritakan kisah ini mengutip dari tulisan wartawan Republika terdahulu, yang meliput langsung peristiwa seru itu. Saya masukkan juga pembukaan tulisannya, yang menurut saya mencerminkan betul kejadian tersebut.

Hanya Tuhan yang tahu bahwa hari itu, di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, bakal diputar adegan yang selama ini hanya ada di Barat -- atau di film-film mereka.

Petugas polisi berlari-lari masuk ke Terminal Keberangkatan Luar Negeri Bandara Soekarno-Hatta. Mereka berpacu dengan waktu. Telat sedikit, pesawat yang membawa dua anggota sindikat narkoba internasional bakal terbang. Ini buruan kelas kakap. Di area check in penumpang, polisi beruntung menemukan Rina Andriani. Polisi tanpa basa basi menangkapnya. Sementara rekan Rina, Deni Setia Maharwan sudah telanjur masuk ke perut pesawat Cathay Pacific tujuan London, Inggris.

Tim lainnya bergerak cepat mengejar Deni. Mereka merangsek masuk ke kabin Cathay yang sudah penuh penumpang. Polisi meminta pesawat jangan lepas landas dulu. Polisi akhirnya menemukan Deni di tengah penumpang Cathay yang sudah duduk. Deni ditangkap berikut paket pakaian anak-anak yang ia jadikan pembungkus heroin dan kokain. Tahu berapa paketnya ketika itu? 1,6 kilogram (kg) heroin dan 15 kg kokain senilai total Rp 13,7 miliar!

Pengejaran belum selesai. Masih ada anggota sindikat yang lain berkeliaran di bandara. Di lobby bandara, polisi memborgol Meirika Franola (Ola) yang mengantar kepergian Rani dan Deni. Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya ketika itu, Kolonel Polisi Alex Bambang Riatmodjo, menangkap Ola. Anehnya, Ola mengatakan ia sudah bermimpi akan bertemu Alex. "Saya sering melihat bapak di TV. Feeling saya selalu mengatakan suatu saat saya akan berdampingan dengan bapak. Dan ternyata benar," kata Ola saat ditangkap.

Dalam wawancara dengan Republika ketika itu, Alex menegaskan bahwa Rani, Deni, dan Ola adalah bagian kecil dari sindikat yang lebih besar. Rani dan Deni sebagia kurir. Sedangkan Ola adalah istri gembong sindikat narkoba itu, Mouza Sulaiman Domala, warga negara Pantai Gading. Dalam pemeriksaan, Ola membongkar jaringan sindikat yang dipimpin suaminya itu. Ola, perempuan asal Ciamis, sudah menikah satu setengah tahun dengan Mouza. Mereka memiliki dua anak.

Sindikat ini mendapat pasokan narkoba dari warga Peru bernama Jemmy alias Tomy. Rencananya, kokain dan heroin itu mereka bakal antar ke London. Ola membayar Deni dan Rani sebesar 3.000 dolar AS untuk membawa paket ke London. Dalam pemeriksaan, Ola bernyanyi tentang persembunyian sindikat narkobanya. Alamat rumah mereka ada di Jalan Pangeran Antasari No 74, Cipete, Jakarta Selatan.

Sindikat rupanya sudah setahun tinggal di sana. Polisi menggerebek rumah itu sehari setelah menangkap Ola. Di dalam rumah ada Mouza Sulaiman dan keempat temannya. Baku tembak tidak terhindarkan. Kelima warga Afrika itu pun tewas. Dari rumah itu polisi menyita kokain seberat 1 kg.

Lalu, apa peran Ola? Alex mengungkapkan, di dalam pemeriksaan Ola secara tegas mengakui ikut mengorganisasi perdagangan narkoba yang dipimpin suaminya. Bahkan, Ola mengakui, Mouza adalah satu pucuk pimpinan yang mengelola perdagangan narkoba di kalangan warga Afrika di Indonesia.

Dari dua penggerebekan itu, akhir bulan Januari 2000, polisi kembali melabrak satu markas sindikat narkoba Afrika. Kali ini di Jalan Garuda No 62, Kemayoran, Jakarta Pusat. Lagi-lagi polisi baku tembak dengan lima bandar heroin Afrika. Kelimanya berhasil dilumpuhkan. Dari rumah itu, polisi menemukan 3,469 heroin di dalam sofa, pistol FN, celurit, dan uang tunai serta perhiasan emas.

Menceritakan kembali kisah ini menjadi penting. Sebab, Presiden SBY sudah kepalang tanggung memberi grasi, meringankan hukuman mati Ola menjadi hukuman seumur hidup. Alasan pemerintah dalam pemberian grasi itu adalah mereka percaya Ola HANYA (sengaja menggunakan huruf kapital) kurir, dan bukan anggota sindikat narkoba internasional.

Padahal seperti kisah di atas, Ola sudah mengaku jika ia menjadi bagian dalam sindikat narkoba. Ini akhirnya terbukti dalam kasus penggerebekan narkoba di Jawa Barat pekan lalu, kaki tangan Ola tertangkap dan mengaku. Ola ternyata masih mengelola sindikat narkobanya dari balik jeruji besi.

Mahkamah Agung (MA) sebenarnya sudah memasukkan pertimbangan soal grasi Ola ini. Mereka ingin pemerintah MENOLAK grasi yang diajukan Ola. Tapi, yang dilakukan pemerintah malah kebalikan dari MA dan fakta pemeriksaan polisi juga persidangan. Dari sidang awalnya di Pengadilan Negeri Tangerang, Ola memang sudah dituntut hukuman mati.

Dari kisah di atas, ketika Ola mendapat pengampunan dari hukuman mati, saya merasa masyarakat patut bertanya. Kuasa (si)apa yang bisa mengubah itu semua?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement