Sabtu 10 Nov 2012 07:00 WIB

Darah Pahlawan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia

Dalam satu perbincangan, Agung Pribadi, seorang penulis, membocorkan   fakta menarik yang jarang diangkat terkait  10 November 1945, dari buku motivasi sejarah   yang ditulisnya dan dalam proses diterbitkan. Pertempuran Surabaya ternyata merupakan pertempuran terdahsyat yang dialami sekutu setelah menang perang dunia kedua, kemudian menjadi kekuatan satu-satunya yang paling  ditakuti. Mungkin karenanya ketika tiba, sekutu  tidak merasa perlu menghormati Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Di Surabaya mereka mendarat 25 Oktober 1945, dengan memboyong Brigade 49 yang terkenal sebagai pasukan nekat yang berhasil merontokkan pertahanan Jepang satu demi satu di Burma. Berturut-turut tentara sekutu membobol penjara Kalisosok dan membebaskan tawanan termasuk perwira Belanda yang sedang melakukan tugas intelijen untuk mengembalikan kekuasaan di Indonesia. Sekutu juga merebut pangkalan udara Tanjung Perak. Sementara melalui pesawat Dakota, AU Inggris menjatuhkan selebaran, memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi di Surabaya untuk menyerahkan senjata, dengan tangan di atas kepala atau ditembak ditempat.

Saya membayangkan adegan filmis itu. Bagi sekutu yang baru saja menang di Eropa, lalu mengalahkan Jepang di Asia, apalah arti kekuatan Indonesia.  Ketika  itu  hanya dua pilihan bagi pemuda kita, menyerahkan senjata dan berarti merendahkan martabat, atau melawan dan menunjukkan harga diri bangsa. Pemuda-pemuda Surabaya memutuskan  memilih jalan kedua yang lebih membanggakan dan heroik, melawan sekuat daya.

Ahad, 28 Oktober, barisan pemuda memulai serangan besar-besaran, dengan target mengusir tentara Inggris, dari Surabaya. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia  bersatu di kota itu Pasukan dan sukarelawan dari kota lain di Jawa Timur pun berdatangan  membantu.

Selain pasukan bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran. Mereka yang belum  bersenjata, bertekad   merebut senjata dari tangan tentara lawan.

Serangan dari segala pelosok dan blokade makanan, listrik dan air yang dilancarkan, membuat pasukan Inggris tidak bisa berbuat banyak. Kepongahan sirna. Mereka bahkan sampai pada kesimpulan, jika pertempuran tidak dihentikan, maka dalam waktu singkat brigade yang dibanggakan tersebut akan disapu bersih dari Surabaya.

Malam hari via telepon, Inggris  meminta Soekarno dibangunkan karena gentingnya keadaan. Mereka minta tokoh proklamasi itu menenangkan pemuda Surabaya, bahkan bersedia menyediakan pesawat khusus untuk menerbangkannya. Ini adalah kekalahan pertama sekutu dalam pertempuran setelah menang pada perang dunia II, dan itu terjadi di Surabaya, karena pemuda-pemuda Indonesia.

Sayang, gencatan senjata ini tidak diketahui seluruh pos pertahanan Inggris.  Sehingga ketika berkeliling kota, Jendral Mallaby menemukan masih ada insiden pertempuran yang membuat dirinya sendiri kemudian menjadi korban.

Bayangkan, hanya dalam lima hari pertempuran namun seorang jenderal mereka telah  tewas. Peristiwa yang membangkitkan kemarahan dan semangat sekutu untuk membalas.

Belajar dari kekalahan, jika sebelumnya diperkuat satu brigade  sejumlah 5.000-an orang,  kini sekutu menambah 12.000 pasukannya menjadi satu divisi tempur.

    

Gentarkah para pemuda kita saat itu? Subhanallah, tidak! Bergeming,  meski  mendapatkan ultimatum untuk menyerahkan semua senjata sebelum 10 November 1945 atau digempur habis.

Hari demi hari sekutu menunggu, tidak ada tanda-tanda menyerah. Pagi, 10 November, meriam dari kapal perang inggris memuntahkan peluru ke seluruh penjuru. Sementara pesawat tempur berterbangan membombardir Surabaya.

Pertempuran yang dikira akan berakhir dalam 3 hari  memanjang hingga tiga minggu.  Inggris kehilangan banyak tentara, bahkan satu Jendral lagi tewas dalam pertempuran. Saat itu memang pejuang kita terpukul mundur  hingga ke luar kota, tapi mereka juga siap untuk balik menyerang, namun urung karena kembali ada kesepakatan genjatan senjata.

Lebih dari 16.000 orang tewas,  sebagian besar adalah masyarakat sipil.  Tidak terkira besarnya kerusakan yang terjadi, hingga 10 November pantas ditetapkan sebagai hari pahlawan.

Mengetahui lebih dalam kisah ini, menyempurnakan kembali kebanggaan akan Indonesia sebagai satu-satunya bangsa  yang mengalahkan sekutu setelah perang dunia kedua.  Kebanggaan yang semoga diikuti upaya pembuktian, agar tidak satu tetes pun darah pejuang yang telah membasahi negeri, tertumpah sia-sia.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement