REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menentang peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi soal outsourcing. Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi mengatakan permen ini cacat hukum.
Perdebatan yang mencuat seputar sistem outsourcing adalah tentang rencana penetapan bidang-bidang pekerjaan non core (pekerjaan yang sifatnya bukan kegiatan inti perusahaan) yang diizinkan menggunakan tenaga kerja alih daya.
Hal ini telah diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya menunjang kegiatan inti (core business). Sofjan mengatakan, persoalan core dan noncore akan dibahas dalam badan pekerja LKS Tripartit Nasional. Namun, karena tekanan buruh, pemerintah melakukan penafsiran sendiri.
Menurut Sofjan, peraturan menteri tersebut melanggar kesepakatan bersama yang telah dibuat dalam LKS Tripartit Nasional dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. APINDO menilai pelaksanaan alih daya di luar lima jenis pekerjaan yang tertera dalam penjelasan Pasal 66 UU No. 13/2003 bukan merupakan pelanggaraan terhadap UU.
Dalam pasal itu, kata “antara lain” telah menjelaskan jenis pekerjaan lain di luar ketentuan yang sudah ada, yang sangat bergantung pada kebutuhan dan kondisi perusahaan. Sistem outsourcing ditentang karena dinilai tidak memberikan jaminan perlindungan hak pekerja.
Terjadinya pelanggaran hak pekerja oleh perusahaan penyedia dan pengguna jasa outsourcing, menurut Sofjan diakibatkan oleh lemahnya pengawasan pemerintah.
“Perusahaan outsourcingnya yang harus diawasi bukan sistemnya yang dihapus,” kata dia.
Apindo mendesak pemerintah memperketat pengawasan praktik outsourcing, bukan menghapus praktik outsoarcing yang notabene diperlukan perusahaan untuk bergerak lebih dinamis dan optimal.