Kamis 08 Nov 2012 07:00 WIB

Islamisasi Jawa (3)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Islamisasi Jawa mulai menemukan momentum berkelanjutan sejak masa-masa sekitar 1930-an sampai sekarang. Polarisasi antara kaum santri dengan abangan yang mulai tercipta sepanjang periode 1830-1930 kian mengeras sejak 1930-an.

Perkembangan politik, keagamaan, sosial dan budaya dalam negeri Indonesia mempengaruhi dinamika Islamisasi dan juga santrinisasi masyarakat Jawa secara keseluruhan.

Dalam keseluruhan proses yang relatif panjang itu pula satu hal bisa dipastikan; kaum santri terus menguat, yang akhirnya membuat kaum abangan kian berada dalam posisi defensif yang kian defenseless. Salah satu faktor terpenting meningkatnya santrinisasi Jawa itu adalah kebangkitan berbagai organisasi modern di kalangan Muslim sepanjang dasawarsa kedua dan ketiga abad 20.

Pertama yang muncul adalah organisasi ‘modernis’ dalam kadar yang berbeda-beda sejak dari SDI, SI, Jami’at Khair, Muhammadiyah dan seterusnya. Selanjutnya, sebagiannya sebagai respons dan reaksi terhadap ‘tantangan’ kaum modernis itu adalah kemunculan NU pada 1926 yang dulu sering disebut sebagai ‘kaum tradisionalis’.

Terlepas dari perbedaan paham dan praktik keagamaan yang tak jarang menimbulkan ketegangan dan konflik di antara kedua golongan santri ini, seperti dicatat Ricklefs, organisasi mereka masing-masing sangat aktif dalam modernisasi pendidikan dan penyantunan sosial. Di tengah kebijakan kolonial Belanda yang pada dasarnya menjaga jarak dengan urusan-urusan menyangkut Islam, organisasi-organisasi santri ini tak bisa lain kian memperkuat posisi keagamaan dan sosial mereka vis-a-vis kaum abangan.

Meski kian menguat secara keagamaan, sosial dan budaya, kaum satri tetap marginal dalam kancah politik menuju ke arah kemerdekaan. Kesempatan datang dalam masa penjajahan Jepang ketika para penguasa dari negeri ‘matahari terbit’ ini mengikutsertakan kalangan pemimpin ‘bulan sabit’ baik modernis maupun tradisionalis untuk terlibat dalam persiapan menjelang kemerdekaan.

Tetapi seperti dicatat banyak sejarawan tentang Indonesia, kaum santri akhirnya menerima UUD 1945 dengan Pancasila yang tidak mencakup ‘Piagam Jakarta’ hanya sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemerdekaan tidak membuat hilangnya polarisasi santri-abangan.

Menurut Ricklefs, bahkan masa pemerintahan Presiden Soekarno menyaksikan puncak polarisasi itu dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Adalah PKI dan PNI yang umumnya dipandang sebagai representasi kaum abangan yang terus berusaha keras menghalangi momentum Islamisasi dan penguatan kaum santri.

Polarisasi yang juga memunculkan apa yang disebut sebagai ‘politik aliran’ itu mencapai puncak kembali dengan pemberontakan PKI pada 30 September 1965. Tumpasnya PKI dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai penguasa baru memberikan harapan besar bagi kaum santri untuk memainkan peran lebih besar dalam kancah politik Indonesia.

Totalitarianisme Soeharto sebaliknya berujung pada apa yang disebut sebagian ahli dan kalangan santri sendiri sebagai ‘depolitisasi Islam’. Berlainan dengan pandangan ini, menarik argumen Ricklefs yang menyatakan, dengan berbagai kebijakannya terhadap Islam dan kaum santri, rezim Soeharto justru membangun atau menegakkan kembali tradisi integrasi negara dengan agama.

Di tengah perkembangan lenyapnya partai-partai Islam dalam fusi pada PPP, kaum santri tetap memiliki banyak struktur institusional untuk memajukan Islam dan umat Muslimin. Institusi itu sangat beragam sejak dari MUI, Muhammadiyah, NU beserta sejumlah ormas Islam lain; masjid; pesantren, madrasah dan sekolah Islam.

Pada saat yang sama juga terus kegiatan dakwah dan penyantunan sosial juga kian giat. Selain itu, pemerintahan Soeharto juga memperluas jaringan IAIN baik di ibu kota provinsi dan fakultas-fakultas cabangnya di berbagai kota. Lembaga pendidikan tinggi Islam negeri ini, dalam catatan Ricklefs, paling produktif menghasilkan kaum inteligensia dan intelektual Muslim progresif yang menjadi agen terdepan dalam modernisasi berbagai kelembagaan Islam; menjelang 1990-an, dampak kaum terpelajar santri ini kian terlihat jelas pada masyarakat akar rumput.

Menurut Ricklefs, sejak 1990-an pula wacana dan gerakan ‘revivalist’ mulai menyebar di Jawa—atau tempat lain di Indonesia. Mereka turut merambah ke dalam masyarakat abangan akar rumput melalui lembaga dakwah dan pendidikan Salafi yang menekankan keutamaan ‘Islam murni’ seperti dipraktikkan kaum Salaf di masa pasca-Nabi Muhammad.

Semua perkembangan ini, dalam kesimpulan Ricklefs memperkuat gelombang religiusitas atau tepatnya Islamisitas. “Religion seemed more and more to be a part of modernity to many Javanese...At grass-roots level, Javanese society was visibly more Islamic in beliefs, rituals, entertainments, social life, discourse, presumptions and expectatiions”.

Masa pasca-Soeharto terbukti menjadi tahap sangat menentukan dalam Islamisasi Jawa—dan Indonesia secara keseluruhan. “...it is difficult [now] to imagine that the deepening influence of Islam among Javanese can be stopped or reversed by any remaining opponent”, tulis Ricklefs.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement