REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan seks (sex education) dinilai tidak perlu masuk dalam materi buku teks pelajaran, terutama bagi kalangan sekolah dasar. Dikhawatirkan bila pendidikan seks dicantumkan dalam buku ajar, akan menimbulkan penafsiran yang berbeda pada anak didik.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Diah Harianti, mengatakan pendidikan seks memang penting untuk diajarkan, bahkan untuk siswa sekolah dasar sekalipun. Namun, menurutnya, tidak semua materi harus masuk dalam buku teks pelajaran.
"Materi kesehatan reproduksi dapat diberikan dengan cara lain," ujarnya saat ditemui di sela-sela acara Pengumuman Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan 2012, di Hotel Aryadutta, Jakarta, Senin (5/11).
Diah menyebut, pendidikan seks dapat diberikan melalui pemberian materi oleh narasumber ataupun konselor. Pemberian bimbingan pun harus dipisah antara murid laki-laki dan perempuan. "Kalau pemberian materinya dicampur, nanti murid akan merasa malu," ucapnya.
Guru, kata Diah, harus menggunakan cara tepat dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak didiknya. Pihaknya berharap kejadian Lembar Kerja Siswa (LKS) yang bermuatan pornografi, seperti yang beberapa lalu terjadi di Batam, tidak terulang lagi. "Materi pemeliharan alat reproduksi memang ada di standar kompetensi, tetapi tidak harus dituangkan dalam buku teks," katanya.
Adanya LKS yang bermuatan melenceng menjadi tanggung jawab guru. Pasalnya LKS merupakan 'kepanjangan tangan' dari guru untuk menyampaikan materi ke siswanya. "Kalau ada materi yang tidak pantas dalam LKS, gurulah yang harus bertanggungjawab," ucapnya.
Harusnya, kata Diah, bila guru menemukan materi yang tidak layak pada buku teks, segera laporkan ke kepala sekolah. "Jika tidak ada tanggapan dari kepala sekolah, bisa melaporkannya ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota," ujarnya.