REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Malang Wasto mengatakan transaksi Bank Sampah Malang (BSM) mencapai Rp 2 juta/hari. Namun angka itu masih terlalu kecil dibandingkan dengan produksi sampah rumah tangga dan industri yang dihasilkan setiap hari di daerah itu.
"Dibandingkan produksi sampah memang tidak signifikan, namun yang terpenting saat ini bukan besar kecilnya sampah yang bisa ditransaksikan, tapi kesadaran masyarakat inilah yang perlu terus ditumbuhkan," katanya.
Sampah yang ditransaksikan di BSM saat ini, katanya, baru berupa sampah plastik dan sampah kering, belum menyentuh sampah basah yang sudah diolah. Padahal, kalau sudah diolah menjadi bijih plastik harganya bisa mencapai Rp 9 ribu perkilogram.
Sedangkan sampah plastik yang masih utuh (belum dicacah) termasuk botol aqua dihargai Rp 3 ribu per kilogramnya. Oleh karena itu, setiap kelurahan diimbau segera memiliki mesin pencacah guna meningkatkan nilai keenomian sampah tersebut.
"Saya berpikir setiap kelurahan bisa menyisihkan anggaran Rp12,5 juta untuk membeli mesin pencacah dari dana hibah APBD sebesar Rp 500 juta per kelurahan itu. Saya yakin pasti bisa," tegas Wasto.
Keberadaan BSM itu sendiri saat ini juga menjadi perhatian Pemerintah Osaka, Jepang. Pemerintah Osaka bersedia membeli produk BSM jika sudah diolah menjadi bijih plastik (palet).
"Kami berharap bijih plastik ini segera bisa diproduksi secara massal jika setiap kelurahan sudah memiliki mesin pencacah, sehingga tawaran Pemerintah Osaka tersebut bisa diwujudkan," ujarnya.
Volume sampah domestik dan industri di Kota Malang yang rata-rata mencapai 600 ton/hari itu, yang dikelola tidak lebih dari 25 persen. Satu ton disetorkan ke BSM dan lainnya diolah menjadi kompos di masing-masing tempat pembuangan sementara.