Kamis 01 Nov 2012 08:01 WIB

Islamisasi Jawa (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Islamisasi Jawa jelas tak berjalan linear. Jika sejak Islamisasi mulai berlangsung pada abad ke-14 sampai awal abad ke-19 terjadi apa yang disebut sejarawan MC Ricklefs sebagai “sintesa mistik” antara tradisi spiritualisme Jawa dengan Islam, periode selanjutnya (1830-1930) ditandai dengan meningkatnya polarisasi masyarakat Jawa. Perkembangan ini tak lepas dari dinamika Islam di tingkat internasional, khususnya di Arabia, yang memengaruhi proses Islamisasi dan santrinisasi nusantara, termasuk di Jawa.

Kebangkitan gerakan Wahabiyah yang dinisbahkan pada Muhammad bin 'Abd al-Wahhab (masa hidup 1703-79) sejak pertengahan abad ke-18 mengubah arah gerakan pembaruan di kalangan pengikut Tarekat Syatariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau yang mulai menemukan momentum pada 1870-an. Gerakan yang semula damai berubah menjadi gerakan Padri radikal-dengan paham dan praksis amat mirip Wahabi-setelah kembalinya tiga haji dari Tanah Suci pada awal abad ke-19.

Konflik atau tepatnya “perang saudara” di antara barisan pendukung pembaruan damai dengan kelompok pemurnian radikal ala Wahabi berubah menjadi Perang Padri (1821-37) ketika Belanda campur tangan atas permintaan kaum adat. Di Jawa, pada waktu hampir bersamaan terjadi Perang Jawa yang dikenal sebagai Perang Diponegoro (1925-30). Selain karena kebijakan yang merugikan pribumi, perang ini terkait transformasi dan intensifikasi keislaman Pangeran Diponegoro.

Seperti terungkap dalam penelitian Peter Carey, sejarawan Oxford University, Pangeran Diponegoro lewat lingkungan tarekat dan pesantren menempuh pengalaman keberagamaan sangat intens membuatnya tidak lagi bisa menerima kolonialisme Belanda kafir. Intensifikasi keislaman atau santrinisasi masyarakat Muslim Jawa selanjutnya terkait pertumbuhan jamaah haji dari kalangan kelas menengah Muslim yang mulai tumbuh.

Meski statistik kolonial abad ke-19 tidak bisa terlalu dipercaya, menurut Ricklefs, sebagai gambaran pada 1850 hanya 48 pribumi Jawa pergi naik haji. Tetapi, pada 1858 meningkat menjadi 2.283 orang dan pada tahun-tahun akhir abad ke-19 berfluktuasi antara 1.500 sampai 5.000 orang. Dalam waktu bersamaan, jumlah pesantren meningkat: sebagian didirikan para haji yang kembali dari Tanah Suci.

Memang pesantren sudah ada sejak masa awal penyebaran Islam di Jawa, tetapi baru pada abad ke-19 lembaga pendidikan ini menjadi salah satu “fenomena” utama Islam Jawa. Pada 1863, pemerintah kolonial mencatat hampir 65 ribu fungsionaris “profesional” keagamaan Islam (pengurus masjid dan guru agama) dan 94 ribu murid “sekolah agama” (pesantren). Menjelang 1872, jumlahnya masing-masing menjadi 90 ribu dan 162 ribu dan pada 1893 ada 10.800 pesantren di Jawa dan Madura dengan santri lebih dari 272 ribu.

Proses santrinisasi juga didorong penguatan reorientasi syariah penganut tarekat, khususnya Naqsyabandiyah Khalidiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang diikuti tarekat lain. Perkembangan ini mengikuti kecenderungan sama yang terjadi pada tarekat-tarekat di Aceh, Palembang, dan Banjarmasin sepanjang abad ke-17 sampai abad ke-18. Tarekat-tarekat ini selain menekankan kesetiaan kepada syariah dan menolak kecenderungan antinomian dalam tarekat juga amat anti-Belanda dan terjun berjihad melawan kolonial-dan selanjutnya, seperti ditegaskan Ricklefs-bersikap anti-Kristen.

Polarisasi dalam masyarakat Jawa dengan demikian terjadi tidak hanya di antara kelompok Muslim yang kian menjadi santri dengan golongan masyarakat Muslim yang tetap mempertahankan “sintesa mistik”, tetapi juga dengan kalangan warga Jawa yang beralih masuk Kristen. Seperti diungkapkan Ricklefs, untuk pertama kali, seusai Perang Jawa, misi Kristen mencapai sukses. Beberapa tokoh Jawa masuk Kristen, seperti Ky Ibrahim Tunggu Wulung dan Ky Sadrach.

Hasilnya, menjelang akhir abad ke-19 terdapat sekitar 20 ribuan Kristen Jawa plus sejumlah “Kristen Londo” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan polarisasi terakhir ini, meminjam kerangka sejarawan terkemuka lainnya, Anthony Reid, terciptalah batas keagamaan lebih jelas dan tegas, baik di antara pemeluk Islam maupun penganut Kristen maupun di antara Muslim santri dengan Muslim pemegang sintesa mistik-atau “abangan”.

Di tengah polarisasi itu, Islam secara keseluruhan terus menemukan momentum-menciptakan proses Islamisasi lebih intens karena berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang mendorong Kristenisasi. Perlawanan dengan motif Islam juga meningkat. Contoh terbaik adalah KH Ahmad Rifa'i (1786-1876) yang setelah kembali ke Kali Salak, Batang, Jawa Tengah, dari belajar di Makkah, Madinah, dan Kairo menolak tunduk kepada otoritas kolonial Belada.

Ia tidak mengakui keabsahan pernikahan yang dilakukan penghulu fungsionaris masjid yang diangkat Belanda. Ia menolak percampuran antara ajaran Islam dan tradisi Jawa dan mendorong penerapan Islam puritan dalam masyarakat Muslim Jawa.                                                               

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement