REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Pembangunan di hampir seluruh daerah di Indonesia dinilai masih berorientasi pada proyek. Wajar jika kemudian pembangunan tersebut seringkali tidak tepat sasaran. Pendapat itu disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Ali. "Seharusnya berorientasi pada program bukan proyek, tapi di daerah masih 'proyek minded'," katanya di Bengkulu, Senin (29/10).
Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara kunci dalam peluncuran Marlborough Institut sekaligus seminar nasional yang digelar lembaga itu dengan tajuk 'Menatap Bengkulu hari ini, esok dan akan datang.'
Ia mengatakan proses pembangunan yang berorientasi proyek tidak akan optimal manfaatnya untuk peningkatan kesejahteraaan masyarakat. Apalagi dengan otonomi daerah yang saat ini berlangsung. Karena itu, pemerintah daerah diharapkan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Termasuk Bengkulu yang sudah berusia 45 tahun tapi masih termasuk daerah tertinggal dibanding provinsi lain di Tanah Air," katanya.
Orientasi proyek juga tergambar dari salah satu daerah pemekaran yang jumlah penduduknya hanya sedikit, tapi aktivitas utama adalah pembangunan fisik. Padahal dengan DAU dan DAK yang diterima dari pemerintah pusat jika dibagikan kepada masyarakatnya kata dia dapat memicu peningkatan perekonomian.
Marzuki juga menilai, otonomi daerah memicu kerusakan, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Kepala daerah mengobral izin-izin pertambangan yang tidak berdampak secara langsung kepada kesejahteraan masyarakat.
"Termasuk di Kabupaten Lahat Sumatra Selatan, areal disana sudah dikapling-kapling seperti rumah susun, tapi dikelola oleh swasta, masyarakat tidak merasakan manfaatnya," katanya.
Pembangunan yang berorientasi program menurutnya akan menggiring pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi yang ada dan mencari permasalahan yang menjadi kendala. Khusus di Provinsi Bengkulu kata dia, sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di mana pada 2011 mencapai 49,9 persen.
"Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian dan perkebunan sangat potensial menjadi program prioritas pemerintah Bengkulu," tambahnya.
Ia mengatakan lemahnya infrastruktur pertanian membuat sektor ini tidak berkembang seperti yang diharapkan. Pengalokasian dana untuk pembanguan jalan dan fasilitas di sentra produksi pertanian menjadi penunjang untuk membangkitkan sektor pertanian dan perkebunan.
Akademisi Universitas Bengkulu Lizar Alfansi yang menjadi salah satu narasumber dalam seminar itu mengatakan Pemerintah Provinsi Bengkulu perlu bekerja keras memperbaiki rangking indeks layanan investasi yang sangat buruk dibanding daerah lain. "Sejak otonomi daerah pada 2001 digulirkan tidak ada perbaikan iklim investasi yang signifikan di Bengkulu," katanya.
Provinsi Bengkulu, termasuk kabupaten dan kota yang ada, menduduki peringkat investasi yang rendah di Idndonesia, bahkan satu satu yang paling jelek di Indonesia. Indeks iklim investasi daerah pada 2008 menyebutkan Bengkulu menempati peringkat tiga terjelek setelah Papua Barat dan Sulawesi Utara.