REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON – Saat ini Indonesia sedang menghadapi teror perubahan iklim. “Indonesia adalah negara di garis depan,” kata pengusaha Rachmat Gobel, Selasa (23/10) waktu AS atau Rabu (24/10) waktu Indonesia.
Rachmat, yang merupakan pemilik Panasonic Gobel Indonesia, juga dikenal sebagai pengusaha yang mengkampanyekan ekonomi hijau (green economy). Hal itu ia buktikan dengan memimpin organisai energi terbarukan dan mempromosikan produk industri yang ramah lingkungan. Paparan Gobel tersebut disampaikan dalam sebuah diskusi di Center of Strategic for International Studies (CSIS) di Wasington DC, AS. Lembaga ini memiliki nama yang sama dengan lembaga di Indonesia, tapi keduanya tak memiliki hubungan struktural.
Gobel menyebutkan, suhu udara di Indonesia meningkat 0,3 derajat celcius sejak 1990. Kecenderungan ini diperkirakan akan terus terjadi. Pada sisi lain jumlah curah hujan meningkat 2-3 persen. Padahal jumlah hari hujan dalam setahun justru mengalami penurunan tiap tahunnya. “Kombinasi tak alami ini akan membuat wilayah perdesaan rawan terhadap banjir dan longsor,” katanya. Ia juga mengemukakan terjadinya kenaikan permukaan air laut merupakan bahaya yang dihadapi Indonesia saat ini. “Sekitar 40 juta penduduk Indonesia memiliki rumah yang berjarak 10 meter dari laut,” katanya. Dengan demikian, kenaikan permukaan laut akan mengancam kehidupan mereka.
Namun Gobel menyatakan, Indonesia dikaruniai keanekaragaman hayati yang luar biasa. Sekitar 70 persen wilayahnya berupa hutan. Di sana hidup beragam mamalia, reptil, amfibi, burung, ikan, dan lebih dari 38 ribu spesies. Kenyataan ini membuat Indonesia berada di garis depan dalam kebijakan yang pro lingkungan hidup, terutama sejak menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada 2007. Indonesia juga sudah meratifikasi Protokol Kyoto, kemauan untuk mengurangi efek rumah kaca. Dalam hal kelapa sawit, Indonesia juga berinisiatif untuk mengembangkan pertanian yang ramah lingkungan. “Inilah tujuan kami tentang ekonomi hijau,” katanya.
Indonesia juga membangun ekonomi kelautan. Sebagai negara kepulauan, secara alami Indonesia akan berperan dalam menghadapi perubahan iklim. Saat ini, katanya, jumlah emisi gas rumah kaca adalah akibat kebakaran dan deforestasi dan bukan karena industri. Diperkirakan tumbuh menjadi 3,3 miliar ton pada 2030. Hampir 80 persen akibat deforestasi dan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Namun pada 2011, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional tentang pengurangan emisi gas rumah kaca. Dalam rencana itu pengurangan emisi harus mencapai 672 juta ton pada 2020. Namun bisa menjadi satu miliar ton jika didukung bangsa-bangsa lain.