REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendaftarkan pengujian Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101 UU Nomor 11 tahun 2011 tentang Peradilan Anak yang dapat mengkriminalisasi hakim ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pendaftaran ini diwakili Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara Lilik Mulyadi mewakili IKAHI. "Karena ada sanksi pidana, karena itu kami gugat," kata Lilik, kepada wartawan saat mendaftarkan uji materi UU Peradilan Anak di MK Jakarta, Rabu.
Lilik menyebutkan Pasal 96 menyatakan penyidik, penuntut umum, dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban akan dikenakan sanksi pidana, yakni dengan ancaman kurungan selama dua tahun atau denda Rp 200 juta.
Sementara pada Pasal 100, hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban akan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun.
Menurut Lilik, kebijakan yang dibuat oleh para pembentuk UU dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak lebih berorientasi pada perlindungan pelau (anak), namun justru meniadakan perlindungan bagi hakim dan aparat penegak hukum ketika menjalankan tugas dan wewenangnya.
"Padahal dalam beberapa putusan, MK menekankan tentang keberadaan indepedensi yang dimiliki oleh para hakim," katanya.
Selain itu, Lilik juga mengatakan keberadaan kriminalisasi hakim dapat diartikan sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan hakim, yakni berupa upaya untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup.
Lilik juga menjelaskan, dalam praktik peradilan, pengawasan terhadap pelanggaran prosedur hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Hal itu dikarenakan pelanggaran dikategorisasikan sebagai pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim, yakni sanksi yang akan dikenai berupa administratif.
Untuk itu, IKAHI meminta Mahkamah untuk membatalkan sejumlah pasal yang digugat karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.