Rabu 24 Oct 2012 17:40 WIB

Wagub Jatim: Syiah Bagian dari Islam, Jadi tak Perlu SK

Wakil Gubernur Jawa Timur, H Syaifullah Yusuf yang akrab disapa Gus Ipul.
Foto: Republika/Heri Purwata
Wakil Gubernur Jawa Timur, H Syaifullah Yusuf yang akrab disapa Gus Ipul.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wagub Jatim H Saifullah Yusuf menegaskan bahwa ulama Madura meminta agar dakwah Syiah diatur, karena dakwah yang menghina ajaran kelompok lain akan menimbulkan masalah. "Pergub Jatim Nomor 55/2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat sebenarnya sudah mengatur dakwah Syiah itu, bukan melarang Syiah," katanya di kampus Unitomo Surabaya, Rabu (24/10).

Di sela-sela kunjungan kerja Menkop dan UKM Syarief Hasan di kampus itu untuk menghadiri deklarasi gerakan 'Wirausaha Berbasis Koperasi' dari 23 PTN/PTS se-Jatim, ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi hasil pertemuan dengan ulama Madura di Kantor Gubernuran Surabaya (23/10).

"Pergub 55 itu melindungi kedua pihak. Maksudnya, kelompok Syiah tidak boleh berdakwah dengan menghina kelompok lain, sebab berdakwah dengan menghina tentu akan menimbulkan masalah dengan kelompok lain," tuturnya.

Sebaliknya, kelompok non-Syiah juga harus menahan diri untuk tidak melarang Syiah, sebab Syiah juga bagian dari Islam, sehingga ada 'jalan tengah' untuk mengatasi masalah Syiah di Sampang yang sempat menimbulkan dua kali amuk massa itu.

"Syiah itu tidak sama dengan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah itu memang sudah keluar dari Islam. Untuk itu, tidak perlu SK melarang Syiah, apalagi masalah agama itu menjadi kewenangan pemerintah pusat, bukan daerah," ujarnya.

Untuk perlindungan dalam bentuk relokasi warga Syiah juga masih sedang dibahas. Mereka masih salah paham dengan tujuan relokasi itu sendiri, sehingga tidak dapat dipaksakan, katanya.

Dalam pertemuan yang juga dihadiri Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Bukhory itu, kata Wagub Jatim, para ulama Madura juga mendiskusikan Karapan Sapi tanpa kekerasan di Madura.

"Para ulama ingin Karapan Sapi di Madura tanpa kekerasan, tapi hal itu baru bisa dilaksanakan mulai tahun depan, sedangkan tahun ini masih jalan dua-duanya antara karapan dengan kekerasan dan karapan tanpa kekerasan," paparnya.

Karapan sapi merupakan tradisi masyarakat Madura untuk mengadu kecepatan lari sapi, tapi balapan sapi itu kadang menggunakan kekerasan, seperti punggung sapi digaruk dengan paku dan diberi cabai agar larinya kencang. Masalah ini disoroti para ulama sebagai bentuk kekerasan yang menyalahi ajaran Islam.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement