REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelayanan pemulangan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dinilai tidak optimal. Dalam investigasi sistemiknya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan banyak permasalahan terhadap proses pemulangan TKI ke Tanah Air.
Anggota Ombudsman RI, Hendra Nurtjahjo, mengatakan bahwa berdasarkan investigasi yang dilakukan sejak akhir 2011, didapatkan kesimpulan bahwa pelayanan pemulangan TKI belum maksimal di Terminal 2 dan 4. Ada tiga masalah pokok yang hingga kini masih menjadi 'PR' bagi pihak terkait, khususnya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dan Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta).
Ketiga masalah itu adalah perlindungan TKI dalam proses pemulangan, khususnya di Balai Pendataan Kepulangan TKI, pelayanan asuransi terhadap TKI yang bermasalah, dan peningkatan peran BNP2TKI, Dirjen Binapenta dan Kementerian Luar Negeri dalam menangani pengaduan para TKI maupun keluarganya.
"Tidak ada pemisahan antara penumpang umum dengan para TKI dalam pelayanan di loket imigrasi Terminal 2," ujar Hendra saat ditemui di Kantor Ombudsman, Kuningan, Jakarta, Senin (22/10). Form pendataan imigrasi tidak diberikan saat berada di pesawat. Akibatnya, para TKI tidak bisa menunjukkan form tersebut ketika berada di konter imigrasi.
Hendra berujar, tidak ada standar bagi Petugas BNP2TKI di Terminal 2 untuk mengidentifikasi TKI. "Biasanya hanya berdasarkan penampilan dan wajah," ucapnya. Hal ini membuat beberapa TKI yang tidak teridentifikasi langsung keluar dari Terminal 2 bersama penumpang lain dengan bantuan oknum-oknum tertentu yang bekerja secara ilegal, sehingga tidak dapat didata dan dibawa ke Terminal 4 (Balai Pelayanan Kepulangan TKI/BPKTKI).
Permasalahan pelayanan publik tidak hanya terjadi di Terminal 2. Kekisruhan masih berlanjut hingga Terminal 4. Masalahnya, seperti permintaan uang oleh petugas portir, data yang tidak valid, tidak optimalnya pelayanan di ruang pengaduan, ruang asuransi TKI yang tidak nyaman, poliklinik (pemberian perawatan belum memadai dan tidak memenuhi standar), penjaluran (terlalu lama dalam mendata dan mengklasifikasi TKI per wilayah) dan layanan bantuan informasi dari petugas kurang optimal.
Dalam hal asuransi, kata Hendra, para TKI masih kurang memahami haknya atas asuransi. Pengetahuan yang tidak memadai membuat mereka kesulitan mengklaim asuransi. "Bahkan petugas sering menggiring mereka dengan pertanyaan yang membuat mereka tidak mendapatkan klaim asuransi," ujar Hendra. Tak hanya itu, ketentuan dalam Polis Induk Asuransi tidak berpihak kepada TKI.