REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Esekutif Indonesia Center for Democracy, Diplomacy, and Defense (IC3D), Teuku Rezasyah, sejumlah permasalahan menjadi penyebab masih terjadinya kekerasan terhadap TKI di luar negeri.
Semisal kurangnya sumber daya manusia di KBRI. Reza mengatakan, KBRI biasanya hanya memiliki satu atase yang khusus mengurusi tenaga kerja dan diperbantukan oleh dua orang staf yang berstatus bukan diplomatik. Jumlah tersebut, dianggapnya kurang dengan diperdingkan dengan jumlah TKI.
"Harus ditambah," ungkapnya kepada Republika dalam sambungan telepon, Ahad (21/10).Pada persoalan lain, Reza mengkritisi kurangnya perangkat pengatur TKI. Hal tersebut dapat terlihat dari belum siapnya para TKI ketika akan berangkat menuju negara tujuan.
Seperti kesulitan mengisi dokumen perjalanan atau mengenal lokasi tujuan.Menurut Reza, kurangnya perangkat tersebut malah menjadikan para TKI kebingungan ketika sampai pada negara tujuan bekerja.
Kondisi tersebut, lanjut dia, juga melihatkan kinerja PJTKI yang belum optimal.Padahal, permasalahan yang kerap terjadi dan dialami oleh para TKI bersifat sistemik. Karena itu, Reza menyarankan untuk segera dilakukan pembenahan. Seperti pembekalan pengetahuan kepada calon TKI dan pembuatan website.
Website tersebut, jelas Reza, nantinya akan dioperasikan oleh para TKI untuk dapat memberikan informasi mengenai keberadaan dan permasalahan.
"Situasi lapangan itu kan cepat, jadi dengan kurangnya SDM di KBRI bisa terbantu," ungkap dia.Upaya tersebut, diyakininya dapat mengurangi kurangnya pendataan perihal keberadaan TKI. "Masalah paspor hilang kan juga sulit dideteksi. Jadi kalau dengan adanya website itu dapat tertolong," kata dia