Kamis 18 Oct 2012 22:10 WIB

Pukat UGM: Hukum Koruptor Seberat-beratnya

Koruptor (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Koruptor (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta Zainal Arifin Muchtar menilai vonis hukuman seberat-beratnya dan pelaksanaan hukuman yang terkontrol, satu-satunya jalan memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi.

"Hukuman seberat-beratnya misalnya hukuman seumur hidup atau hukuman 20 tahun penjara, jika dilaksanakan secara benar akan memberikan efek jera," kata Zainal pada diskusi "Dialektika: Efektivitas Pemberantasan Korupsi di Indonesia" di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.

Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari dan Ketua Perhimpunan Profesional Indonesia (PPI) Bimo Nugroho.

Zainal Arifin menjelaskan, vonis hukuman terhadap pelaku korupsi saat ini masih sangat ringan, baik melalui Pengadilan Negeri maupun melalui Pengadilan Tipikor, yakni rata-rata dua hingga empat tahun.

Selain itu, kata dia, selama masa penahanan di lembaga pemasyarakatan pelaku korupsi juga sering mendapat perlakuan khusus seperti fasilitas yang lebih baik dari narapidana lainnya termasuk pemberian remisi.

"Pemberian remisi yang cukup sering ini mengurangi masa tahanan pelaku korupsi cukup signifikan," katanya. Arifin mengusulkan agar hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi seberat-beratnya dan selama masa penahanan tidak ada perlakukan khusus.

Apalagi, kata dia, ada peraturan pemerintah yang mengatur bahwa pelaku korupsi agar diperketat pemberian remisinya. Di sisi lain, Arifin juga menilai, pemberantasan korupsi sulit dilakukan karena sudah menjadi kultur yang koruptif.

Ia melihat ada sejumlah modus korupsi baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. "Hal ini terjadi karena pengawasan dari pemerintah lemah," katanya.

Anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari juga menilai, praktik korupsi di Indonesia sulit diberantas selama kondisinya masih seperti ini.

Menurut dia, praktik korupsi terus terjadi karena pengawasan dari negara

lemah serta integritas dari aparat penegak hukum juga lemah, sehingga praktik korupsi sudah menjadi kultur.

"Untuk melakukan pemberantasan korupsi perlu kemauan politik yang kuat dari pemimpinan nasional serta ada tindakan konkret," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement