REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat Pertanian Agribisnis dari Universitas Nusa Cendana Kupang Ir Leta Rafael Levis, M.Rur.Mnt, mengatakan, pangan lokal seperti jagung, ubi dan lainnya baru sebatas sebagai pangan alternatif, bukan pokok, karena akan berlawanan dengan arus.
"Selain bertentangan dengan arus, dampak dari perkembangan arus globalisasi yang telah ikut memberi andil terhadap pengembangan pangan lokal, dimana mengonsumsi makanan lokal, pengonsumsi dinilai ketinggalan jaman, bahkan dianggap tidak lagi memiliki pangan beras atau sudah dilanda kelaparan," katanya di Kupang, Kamis (18/10).
Dosen Fakultas Pertanian pada Undana Kupang itu mengatakan hal tersebut, terkait apakah sudah ada daerah di NTT yang mampu mengawal penggunaan pangan alernatif seperti jagung sebagai makanan pokok.
Kementerian Pertanian terus mengembangkan program 'one day no rice' atau sehari tanpa nasi ke seluruh tanah air sebagai upaya percepatan kegiatan diversifikasi pangan.
Ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat ketergantungan pada nasi atau beras sebagai pangan pokok masyarakat.
Ia menyebut program 'One Day No Rice 'ini masyarakat diminta untuk mengurangi konsumsi nasi dari beras sebagai makanan pokok dan mulai mengganti dengan makanan pokok lain dengan bahan dari jenis umbi-umbian.
Menurut dia, selama ini, pemerintah telah berusaha keras mengubah pola konsumsi pangan masyarakat dengan tujuan untuk mengubah pola pikir atau "mindset" masyarakat ke arah pola makan yang beragam, bergizi seimbang, aman dan halal serta menurunkan rata- rata konsumsi beras/ kapita sebesar 1,5 persen/tahun.
"Berbagai upaya Pemerintah memotivasi daerah khususnya kalangan generasi muda agar membangkitkan kecintaan dan kebanggaannya terhadap produk dalam negeri melalui visualisasi peragaan produk-produk unggulan nasional yang berkualitas dunia merupakan pilihan yang tepat dan perlu didukung," katanya.
Ia menyebut pangan lokal yang ada dan dimiliki masyarakat kepulauan ini antara lain biji asam, putak, buah bakau, ubi kayu, ubi jalar, ubi gandung, bunga gamal, daun kesambi, daun kelor, jagung, dan bungah srikaya, dan lainnya juga memiliki kandungan gizi.
Menurut dia, kandungan gizi pangan lokal tersebut sesuai hasil penelitian laboratorium, ternyata jauh lebih tinggi dari kandungan gizi pangan yang biasa dikonsumsi manusia.
"Kandungan karbohidrat putak yang diolah dari sari pohon enau misalnya, sebesar 84,63 gram atau lebih besar dua kali lipat dari kandungan karbohidrat nasi sebesar 40,60 gram," katanya menyebut hasil uji laboratorium itu.
Sementara kandungan energi nasi sebesar 178 kilo kalori (kkal), juga jauh rendah dari kandungan energi putak sebesar 351,55 kkal.
Dia menambahkan, kandungan karbohidrat biji asam sebesar 78,89 gram, dan energi 352,02 kkal. Selain itu, kandungan karbohidrat ubi gadung diketahui hanya sebesar 19,8 gram, namun kandungan energinya mencapai 101 kkal.
Ia mengatakan sari pohon enau yang diambil, dijemur hingga mengering sebelum diolah menjadi tepung. Tepung putak diayak kemudian dicampur dengan gula aren atau kelapa sebelum dikonsumsi. "Tepung itu bisa juga digunakan sebagai bahan pengganti tepung terigu untuk pembuatan kue kering," katanya.
Namun ia menegaskan, pemanfaatan biji asam sebagai sumber pangan sehari-hari jarang dilakukan, kecuali sebagai makanan selingan yakni biji asam direndam dengan air untuk dipisahkan dari kulit arinya. Kemudian biji yang berwarna putih dijemur dan direbus. "Atau dijadikan tepung untuk diolah lebih lanjut menjadi kue kering," kata Leta Levis menegaskan.