REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dinas Kesehatan Surabaya, Jawa Timur melaporkan hingga Agustus 2012, setidaknya 626 balita mengalami gizi buruk. Namun angka itu menurun drastis pada 2011 dimana terdapat 1.027 kasus balita bergizi buruk.
Penyebaran balita yang mengalami gizi buruk itu menyebar di seluruh Kota Pahlawan, terutama wilayah pinggir kota. Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, dr Esty Martiana Rachmie mengungkapkan kasus temuan gizi buruk ini merata hampir di seluruh kecamatan di Surabaya.
"Di 2012 per Agustus ini, kami mencatat setidaknya 626 balita di Kota Surabaya alami gizi buruk," ungkap Esty usai acara Monitoring dan Pembinaan Penanggulangan Gizi Buruk yang digelar bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jatim dan Surabaya, di wilayah Kenjeran, utara Surabaya, Senin (15/10).
Esty mengungkapkan dari 31 kecamatan di Surabaya, hampir 50 persen kasus gizi buruk sebagian besar ditemukan di tiga kecamatan. Ketiga kecamatan tersebut adalah Kecamatan Semampir, Bulak dan Kenjeran.
Ketiga kecamatan ini masuk dalam administrasi Surabaya utara, karena letaknya yang berada di pesisir dan menghadap ke Pulau Madura. Di tiga kkecamatan yang sebagian besar penduduknya berasal dari Madura ini, setiap tahunnya memiliki temuan kasus gizi buruk lebih banyak ketimbang kecamatan lain di Surabaya.
"Kita memang telah memfokuskan penanganan kasus gizi buruk di tiga kecamatan ini," terangnya.
Esty juga menilai kasus gizi buruk di Surabaya bukan sekedar masalah ekonomi, tapi rendahnya mindset penduduk terkait asupan gizi berkualitas bagi balita.
Menurut Esty, sebagian besar kasus gizi buruk karena perilaku masyarakat, seperti keluarga yang mengesampingkan pola makan dan pola asuh bayi sesuai masa pertumbuhannya.
"Kemiskinan memang ada, tapi tidak mutlak karena kemiskinan. Mindset keluarga terhadap asupan makanan bergizi yang kurang pun jadi penyebabnya," terang dia.
Ia mencontohkan, beberapa keluarga yang memiliki anak gizi buruk, seringkali ditemui sang bapak yang lebih mementingkan pembelian rokok dari pada asupan susu dan sumber makanan bergizi bagi buah hatinya. Ini termasuk juga, jumlah dukun bayi di tiga wilayah ini pun masih lebih banyak ketimbang dokter jaga persalinan.
"Ini artinya mindset kesehatan ibu dan bayi disaat lahiran masih rendah, karena masih mengandalkan hal yang bersifat non medis," terangnya.