REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum pemohon uji materi UU Intelijen Negara, Nurkholis Hidayat, mengaku kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah menolak permohonannya atas potensi pelanggaran hak konstitusional pemohon atas sejumlah pasal dari UU Intelijen Negara.
Nurkholis, kuasa hukum dari penggiat HAM dan demokrasi itu, menilai penolakan MK tersebut setidaknya akan melanggengkan semua isi UU Intelijen untuk dipraktikkan secara eksesif. Menurut Nurkholis, MK telah menyandarkan definisi mengenai ancaman dan rahasia intelijen dengan sangat fleksibel dan sangat mudah untuk disalahgunakan oleh penguasa.
"Kalau rezimnya baik maka akan membaik, tetapi jika rezimnya buruk maka akan menyalahgunakan undang-undang ini," kata Nurkholis. Selain itu, tentang definisi kerahasian intelijen harusnya dengan kategori yang jelas, tapi MK menganggap itu sebagai legislative review dan tidak mempertimbangkan hal yang lain.
Meski permohanan uji materinya ditolak, Wahyudi Djafar, juga kuasa hukum pemohon, berencana mengajukan kembali uji materi terhadap Pasal 32 Ayat 1 Undang-undang Intelijen Negara yang memberikan kewenangan khusus kepada aparat intelijen negara untuk melakukan penyadapan.
"Pada intinya saya ingin mengingatkan kembali kepada MK untuk tidak melupakan putusan yang sebelumnya menjadi semacam inkonsistensi bagi MK. MK melupakan pertimbangan hukum didalam pengujian Undang-undang KPK maupun pengujian Undang-undang ITE," kata Wahyudi.
Sementara itu, korban operasi intelijen, Bejo Untung, yang juga pemohon uji materi UU Intelijen ini mengaku khawatir dengan undang-undang intelijen ini. Untung yang pernah menjadi korban operasi intelijen tahun 1970 melihat UU Intelijen ini sebagai celah kembalinya rezim orde baru. "Dengan alasan membahayakan negara siapa saja bisa ditangkap tanpa proses hukum," kata Untung.