Rabu 10 Oct 2012 08:56 WIB

Belajar Manajemen Penanganan Bencana dari Jepang

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Foto: Antara
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra-Wartawan Republika

Tidak ada yang meragukan ketangguhan Jepang dalam menghadapi bencana. Meski secara beruntun dihantam tiga bencana besar, yakni gempa bumi, tsunami, dan radiasi nuklir, masyarakat Negeri Sakura tetap tangguh dalam menghadapi bencana.

Peristiwa pada Maret 2011, bisa dijadikan pelajaran saat terjadi gempa tektonik berkekuatan 8,9 skala richter (SR) yang diikuti tsunami setinggi 10 meter.

Masyarakat internasional, termasuk Indonesia dibuat terbelalak oleh reaksi masyarakat Jepang saat terjadi bencana. Meski diluluhlantakkan ujian mahadahsyat, rakyat Jepang tetap tegar. Dunia semakin dibuat kagum dengan fenomena disiplin warga Negeri Matahari Terbit. Mereka tetap hidup seperti biasanya, tiada ada warga yang berebut meminta-minta, apalagi menjarah.

Usai bencana berlalu, proses evakuasi korban dilakukan dengan cepat. Distribusi bantuan disalurkan dengan penuh tanggung jawab. Kemudian proses rekonstruksi berjalan sesuai jadwal. Disiplin yang tinggi mampu ditunjukkan dengan sikap yang menguatkan Jepang sebagai negara beradab.

Mereka menganggap peristiwa bencana sebagai hal wajar dan tidak ada kekhawatiran berlebihan yang ditunjukkan. Ditunjang budaya yang tidak ingin menjadi beban pemerintah, tidak perlu waktu lama bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan normal.

Edukasi Bencana

Di sini, kita tidak sedang membandingkan perilaku masyarakat Indonesia dan Jepang. Tapi tak perlu malu juga mengakui Jepang lebih siap dan tangguh dalam menghadapi bencana.

Negeri Samurai itu hampir setiap hari digoyang gempa dan tidak ada kepanikan berlebihan dari masyarakat. Itu lantaran sejak dini, anak-anak di sekolah diperkenalkan untuk terbiasa saat bencana datang. Alhasil ketika dewasa, mereka punya wawasan dan pengalaman dalam bertindak.

Pesan moralnya adalah, seyogianya kita bisa hidup dengan normal dan perlu merasa takut dengan bencana. Yang perlu dipersiapkan masyarakat adalah kewaspadaan. Karena dengan menumbuhkan sikap sadar bencana, maka antisipasi sejak dini bisa dilakukan. Hal itu penting dilakukan masyarakat kita supaya memungkinkan untuk meminimalisasi jumlah korban saat bencana datang.

Karena patut disayangkan jika kita abai dengan nyawa sesama. Menjadi kenyataan memang masih banyak masyarakat yang belum siap menghadapi bencana. Alhasil diperlukan sosialisasi bencana secara masif untuk mengedukasi masyarakat. Luasnya wilayah geografis Indonesia maka harus diimbangi dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana sebagai kunci dalam menghadapi bencana.

Semua tahu, proses edukasi di masyarakat tidak bisa berlangsung instan dan mulus. Butuh waktu untuk menyerap berbagai pembelajaran yang selama ini tidak diketahui. Memang bakal banyak kendala untuk mencapai target tersebut. Namun hal itu jangan sampai menghalangi BNPB mengeluarkan kebijakan dan program untuk mengupayakan masyarakat sadar bencana.

Itu semuanya harus dilakukan mulai sekarang. Semakin lama kita melakukan pembelajaran, semakin merugilah kita. Itu tidak lain disebabkan tingkat kerentanan dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana saling bertolak belakang. Jika ancaman bencana sangat tinggi dan bisa sewaktu-waktu datang, malah kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana sangat kurang.

Boro-boro ketidaksiapan masyarakat, kritikan tentang tidak pahamnya 33 ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tingkat provinsi dan 367 tingkat kabupaten/kota terkait skala prioritas dalam bertindak apabila terjadi bencana juga layak diperhatikan. Kabar itu tidak perlu dibantah sebab kenyataannya banyak pejabat BNPB di daerah tidak paham dalam menjalankan tupoksinya.

Bahkan peneliti kebencanaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fidel Bustami menilai upaya penanggulangan bencana alam di Indonesia masih amburadul. Itu terjadi karena belum adanya standar operasional prosedur (SOP) nasional yang dimiliki Pemerintah. Hal itu menyebabkan penanggulangan bencana tidak terarah dan kordinasi antarinstansi terkait juga kacau.

Karenanya, timbul pertanyaan, bagaimana mungkin kita meminta rakyat siap hidup berdampingan dengan risiko bencana jika pemangku kepentingan malah tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Kalau mengacu penanganan bencana, maka diperlukan sebuah komando khusus untuk bisa menggerakkan seluruh sumber daya manusia (SDM) yang ada. Jika orang yang memegang kendali kurang tepat dalam mengambil kebijakan, bisa disangsikan penanganan manajemen bencana bakal berlarut-larut.

Jangan sampai dana besar triliunan rupiah yang digelontorkan pemerintah habis hanya untuk rekonstruksi rumah. Lebih baik dana itu digunakan untuk langkah preventif menghadapi bencana agar kerugian nyawa dan finansial dapat ditekan.

Menanti aksi BNPB

Indonesia adalah negara yang multibencana, yang kondisinya mirip dengan Jepang. Setidaknya 13 jenis bencana bisa terjadi kapan saja. Kalau tidak diantisipasi, lebih 200 juta jiwa penduduk yang terpapar oleh rawan gempa bumi bisa terancam.

Begitu juga sekitar lima juta jiwa yang tinggal di daerah rawan tsunami. Ratusan gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu berpotensi meletus juga siap melahirkan korban jiwa. Apalagi Indonesia berada dalam zona patahan lempeng tektonik yang dalam sejarahnya sering berujung terjadinya gunung meletus.

Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sebaiknya selalu meningkatkan kesadarannya sebab hidup di kawasan yang rawan bencana. “Di Indonesia itu, ada 129 gunung berapi aktif. Negara kita juga rawan gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, dan konflik sosial. Jadi masyarakat harus selalu dalam kewaspadaan,” kata BNPB Syamsul Maarif kepada penulis belum lama ini.

Menurut Syamsul, sebenarnya masyarakat Indonesia zaman dulu sudah terbiasa hidup dalam ancaman bencana. Itu karena mereka memiliki kedekatan dengan alam sehingga bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya. Sayangnya, kata dia, akhir-akhir ini rasa kepedulian dan kewaspadaan itu semakin berkurang.

Gaya hidup modern membuat masyarakat semakin lengah dan tidak peka dengan tanda alam. Sehingga kalau terjadi bencana, masyarakat sekitar selalu kalang kabut.

"Mereka baru tersentak ketika terjadi tsunami atau bencana alam lainnya. Kalau ada bencana mereka seharusnya bisa mencari tempat perlindungan aman, dan tidak perlu pindah. Prinsip living in harmony bisa diterapkan," saran Syamsul.

Memang membutuhkan waktu tidak sebentar untuk membentuk masyarakat memiliki karakter seperti itu. Namun tidak ada salahnya bagi BNPB pusat maupun daerah membuat gerakan masif program pengenalan dan pemahaman kepada rakyat tentang pentingnya hidup berdampingan dengan alam di kawasan rawan bencana. Perubahan pola pikir mesti dilakukan sebab datangnya bencana tidak bisa dihindari, tapi bisa diantisipasi untuk mencegah atau mengurangi korban jiwa dan finansial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement