REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Sejak April 2012, banyak tersebar berita negatif tentang manfaat dari imunisasi. Berita yang tersebar melalui selebaran, televisi, radio, internet bahkan dalam acara ceramah keagamaan telah memberikan dampak yang signifikan pada penurunan cakupan imunisasi di kota Lhokseumawe.
Isu vaksin haram bukanlah satu – satunya penyebab turunnya angka cakupan imunisai di kota Lhokseumawe. Selain, minimnya informasi tentang manfaat vaksin, penolakan vaksin juga datang dari keluarga pasien. Ernawati salah seorang Petugas Dinas Kesehatan kota Lhokseumawe menjelaskan, keluarga inti dari pasien juga mempengaruhi keputusan pemberian atau tidaknya vaksin pada seorang anak. “Orang tua pasien seperti ibu, memang sudah banyak yang mengetahui tentang manfaat vaksin. Namun sering kali keputusan dari suami atau keluarga inti terutama ayah sangat berpengaruh terhadap keputusan untuk pemberian vaksin”, ungkap Ernawaty.
Kampanye negatif yang tersebar pada berbagai media massa di kota Lhokseumawe memberikan dampak penurunan yang cukup signifikan terhadap cakupan imunisasi. “Tahun 2011 cakupan imunisasi di kota Lhokseumawe mencapai lebih dari 80 persen, tetapi di tahun 2012 ini kami pesimis, mungkin setengah dari tahun kemarin saja tidak'' ungkap Ernawaty, petugas Dinas Kesehatan kota Lhokseumawe.
Dalam acara Sosialisasi Imunisasi dari sisi Medis dan Islam, narasumber dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr Piprim B Yanuarso Sp A(K) mengatakan bahwa kampanye negatif yang saat ini sedang berlangsung hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kampanye negatif ini memang bernuansa Islam, sangat meyakinkan, dan bisa menggoyahkan keyakinan seorang ibu akan manfaat dari vaksin.
“Bagaimana keimanan seorang ibu tidak goyah ketika melihat pemberitaan negatif tentang vaksin, karena para kelompok antivaksin ini mempergunakan atribut dan bahasa yang Islami”, ujarnya.
Selain itu, efek yang timbul dari black campaign ini adalah turunannya cakupan imunisasi di beberapa daerah, contohnya cakupan imunisasi di Sumatera Barat dari 93 persen turun menjadi hanya 35 persen. Kesalahpahaman tentang imunisasi ini perlu dijelaskan karena muncul beberapa anggapan bahwa dengan pemberian nutrisi dan pengobatan antibiotik yang baik sudah cukup ampuh untuk seseorang membangun kekebalan pada tubuh.
Dengan penurunan cakupan imunisasi dapat menimbulkan wabah penyakit yang dapat menyebar secara luas dan cepat. dr Piprim mengambil contoh lonjakan drastis yang terjadi penyebaran penyakit difteri di Rusia pada 1994. “Ketika tahun 1989, penderita penyakit difteri hanya sekitar 3.800 kasus dengan angka kematian 50 kasus. Ketika program vaksin difteri dihentikan, kasus penyakit ini melonjak menjadi 50.000 kasus dengan angka kematian mencapai 1700 kasus.”
Hal Ini disebabkan, pemerintah Rusia pada saat itu menghentikan program imunisasi difteri dan menggantikannya dengan asupan nutrisi dan sanitasi yang baik.
Kesalahpahaman yang kedua adalah anggapan bahwa mayoritas anak – anak yang sakit adalah mereka yang telah menerima vaksin. Hal ini dilatar belakangi adanya anggapan bahwa vaksin dapat 100 persen mencegah penyakit. Anggapan ini salah karena efektifitas vaksin berkisar antara 85 – 99 persen, “Vaksin merupakan suatu bentuk ikhtiar untuk mencegah sakit. Namun jangan juga memasrahkan diri untuk tidak di vaksin karena anggapan menerima atau tidak meneriam vaksin tetap akan terkena suatu penyakit,'' ujar Piprim. (adv)