REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian menyebut kelompok terduga teroris Muhammad Toriq (32 tahun) belum matang. Hal itu terlihat dari rakitan bom yang begitu mudah meledak dan mudahnya para terduga teroris menyerahkan diri.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar terlihat dari rencana dan tindakan mereka yang masih ragu-ragu dan kurang yakin. Disinggung soal kepemimpinan, menurutnya, pihak yang berperan dominan dalam kelompok tersebut adalah Yusuf Rizaldi alias Abu Toto (41 tahun).
"Masing-masing anggota kelompok punya peran masing-masing dan bisa jadi tidak harus ada pemimpin. Jadi, kesepakatan bersama," ujarnya saat ditemui di Mabes Polri, Jumat (14/9).
Tim penyidik Detasemen Khusus 88 Antiteror akan mendalami hubungan Yusuf dengan tokoh-tokoh pelaku teror sebelumnya. Boy mengatakan anggota kelompok ini pertama kali melakukan pertemuan di Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat pada Mei 2012.
Yusuf berperan sebagai pengontrak rumah yang mengalami ledakan di Jalan Nusantara Nomor 63, Beji, Depok yang diduga menjadi gudang penyimpanan berbagai bahan kimia untuk peledak. Alamat terakhirnya tercatat di Jalan Petojo Binatu V, Gambir, Jakarta Pusat.
Pada 2004 ia pernah masuk menjadi tim relawan saat bencana tsunami melanda Aceh. Ia juga tercatat pernah menjadi anggota Majelis Mujahiddin Indonesia. Menurut catatan kepolisian, Yusuf pernah bergabung bersama pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) cabang Jakarta bernama Haris Amir Falah. Haris ditangkap pada 2010 karena terkait pelatihan di Aceh.
Yusuf mempunyai pekerjaan sebagai ahli pengobatan tradisional bekam. Alamat terakhirnya tercatat di Jalan Petojo Binatu V, Gambir, Jakarta Pusat. Ia menyerahkan diri kepada polisi di Pangkalan Susu, Langkat, Sumatra Utara, Rabu (12/9) sekitar pukul 13.30 WIB. Pria kelahiran 12 Juni 1971 tersebut menyerahkan diri atas dorongan kedua orangtuanya, Hasan Muhammad dan Mahani Isya.
Polisi masih mencari keberadaan dua anggota kelompok, yaitu Anton dan Sofyan. Mereka bersama-sama merakit bom. Almarhum Wahyu Ristanto menjadi pihak yang dominan dalam merakit bom karena kemampuannya. Wahyu sempat dirawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati karena kondisinya kritis. Ia meninggal akibat trauma inhalasi (saluran pernafasan terbakar), gangguan fungsi ginjal dan gangguan paru-paru.