REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Direksi Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle Syahganda Nainggolan minta segenap komponen bangsa untuk mewaspadai ancaman junta kapitalis yang mengedepankan kekuatan modal dalam segala hal termasuk perebutan kepemimpinan nasional.
"Dahulu bangsa ini pernah mengalami junta militer, setelah reformasi justru yang berkembang kapitalisme dan kekuatan-kekuatan kapitalis berusaha menguasai negeri," kata Syahganda di Jakarta, Senin.
Untuk itu, katanya, seluruh kekuatan prokerakyatan harus saling bahu membahu melawan kepentingan-kepentingan kapitalisme yang ingin terus menggerogoti bangsa ini.
"Kapitalisme itu kejam, tak menghiraukan suara rakyat bahkan bisa membeli suara rakyat," katanya mengingatkan.
Syahganda mengatakan kekuatan kapitalisme saat ini sedang berusaha mencengkeram lawan-lawannya termasuk dalam memperebutkan kekuasaan menjelang Pemilu 2014.
"Kaum kapitalis dalam negeri bahkan menggalang kekuatan kapitalis asing untuk menancapkan pengaruhnya di negeri ini," katanya tanpa menyebut pihak-pihak tertentu yang mengedepankan kapitalisme.
Ia menegaskan wajah keislaman berikut nilai-nilai keindonesiaan dengan semangat Pancasila, yang sejak lama tumbuh kuat di tanah air kini menghadapi ketergerusan akibat meluasnya praktik kehidupan serba konsumtif yang sekadar mengedepankan kepuasan individu dan fenomena itu jelas mengabaikannya aspek kesadaran sosial dalam mengupayakan kemartabatan hidup masyarakat baik ekonomi maupun politik.
"Semata-mata karena merajalelanya budaya kapitalisme di negara ini yang semakin dinikmati oleh para pemimpin dan kelompok menengah atas," katanya.
Syahganda mengatakan perdebatan panjang oleh para pemuka bangsa dalam mengharmonikan Islam dan Pancasila demi mengukuhkan persatuan nasional ternyata semangat historisnya telah dikubur dalam-dalam sekaligus tidak mengemuka ke permukaan selama era reformasi akibat merebaknya kapitalisme.
"Hal itu lantaran sepenuhnya dicekoki oleh paham kapitalisme global sehingga membuatnya terjebak dalam kehidupan yang hedonis, pragmatis, egois/individualistik, dan terlanjur materialistik," ujar kandidat Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia itu.
Ia menambahkan situasi keberadaan bangsa bahkan ditentukan oleh para pemilik modal dan bukan lagi berdasarkan nilai-nilai luhur beragama termasuk dengan meninggalkan Pancasila yang seharusnya dipertahankan.
Pada sisi lain, katanya, kemajemukan bangsa pun dilepaskan dari ikatan Pancasila, yang menjadikan makna persatuan tidak terkelola dengan baik karena dihadapkan pada kepentingan kelompok atau perseorangan yang lebih kuat.
Dalam bidang politik bebas pascarezim Soeharto yang dimulai sejak era reformasi, masa depannya yang cenderung tak terbungkus Pancasila itu, dikhawatirkan melahirkan penguasaan hidup rakyat secara membabi-buta atas keserakahan politik uang dari kekuasaan kaum pemodal, untuk kemudian menjauhkan harapan rakyat terhadap kemajuan hidupnya di berbagai bidang khususnya kesejahteraan ekonomi, katanya.
Advertisement