REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Polri menegaskan konflik masyarakat di Sampang, Madura bukan dilatarbelakangi perbedaan paham Sunni dan Syiah. Konflik di Sampang murni karena persoalan pribadi antara dua tokoh masyarakat yang juga kakak beradik, Tajul Muluk (Syiah) dan Rois (Sunni).
"Konflik di Sampang karena persoalan asmara. Bukan soal Sunni-Syiah," kata Kapolda Jawa Timur Irjen Polisi Hadiatmoko, saat rapat kerja bersama Kapolri dan Komisi III DPR, Senin (3/9), di Kompleks MPR/DPR, Senayan Jakarta.
Hadiatmoko menjelaskan konflik di Sampang Madura, bermula dari rebutan cinta seorang santri bernama Halimah. Konflik itu kemudian dikait-kaitkan ke persoalan agama. Selama ini, menurut Hadiatmoko tidak pernah ada masalah antara Sunni dan Syiah di Sampang, Madura.
Bahkan Hadiatmoko mengklaim kedua kelompok aliran agama biasa salat di masjid yang sama. "Sunni-Syiah tidak ada masalah, imamnya siapapun, biasa salat bersama," katanya.
Polri sendiri menurut Hadiatmoko sudah bergerak cepat dalam meredam kerusuhan. Dia mengatakan dalam pembakaran yang terjadi di 20 TKP ada 47 rumah hangus terbakar. "Kalau tidak ada polisi mungkin semuanya terbakar," kata Hadiatmoko.
Jauh sebelum koflik terjadi, Polda Jawa Timur menurut Hadiatmoko sudah berupaya membina masyarakat di lokasi kejadian. Termasuk melibatkan berbagai tokoh agama yang ada di sana.
Seperti diberitakan Republika, pada Ahad (26/8), bentrok kembali terjadi antara kelompok Syiah dan anti-Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura sekitar pukul 11.00 WIB. Akibat dari peristiwa ini, dua orang dinyatakan tewas, lima orang luka, dan empat di antara korban luka dalam kondisi kritis.