REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Untuk menggarap potensi energi baru terbarukan berupa panas bumi di wilayah hutan konservasi masih terganjal Undang Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Untuk itu, UU tersebut perlu direvisi agar energi tersebut dapat dimanfaatkan untuk masyarakat.
“Kalau menunggu revisi lama, solusinya paling tidak pada masa gawat energi, perlu dikeluarkan Perppu,” kata Gatot Subiantoro, direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kemenhut, pada seminar daerah, “Menuju Lampung Barat sebagai Lumbung Energi Baru Terbarukan” di Bandar Lampung, Kamis (30/8).
Menurut dia, izin pengelolaan energi panas bumi di Indonesia tidak menjadi masalah utama, namun di dalam UU Nomor 27 Tahun 2003 tersebut jelas tertera kalimat sumber energi yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral dan gas lainnya, untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.
“Proses penambangan ini yang masih menjadi ganjalan dalam mengekplorasi di hutan konservasi,” katanya. Sedangkan penggunakan kawasan hutan untuk pertambangan, yakni hutan produksi dan hutan lindung, sedangkan hutan konservasi masih dilarang.
Ia mengatakan pemanfaatan panas bumi di kawasan hutan konservasi, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011, telah memasukkan aspek pemanfaatan energi di dalam kawasan konservasi, yakni suaka margasatwa, taman nasional, tahura, dan taman wisata alam.
Di dalam Pasal 35 PP tersebut, ia mengatakan taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penyimpanan dan atau penerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam. Menurut dia, pemanfaatan energi air, panas, dan angin merupakan pemanfaatan energi yang diapat diperbaharui, yang pemanfaatannya tidak dilakukan melalui penambangan.