REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik antara warga Syiah dan Sunni dipercaya sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Bahkan, salah konflik terhadap dua ideologi keagamaan ini bukan lagi dikategorikan sebagai konflik konflik lokal dan nasional, tetapi sudah ranah konflik internasional.
Lantas, sebenarnya bagaimana gambaran kehidupan Syiah di Indonesia? Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), Jalaluddin Rakhmat menceritakan sedikit tentang masuknya Syiah ke Indonesia.
Jalal mengatakan Syiah masuk ke Indonesia melalui tiga gelombang. Ada yang menyebut kehadiran Syiah pertama kali yakni saat awal penyebaran islam di Indonesia. Kala itu, Saidatul Siraj menemukan kuburan yang mencerminkan Syiah. Diantaranya berkaitan dengan tradisi ziarah dan tahlilan yang merupakan tradisi Syiah.
"Bahkan ada yang menduga, sejak zaman Dinasti Abbasiyah sudah ada yang datang ke Indonesia untuk mendakwahkan Syiah," ucapnya saat ditemui di rumahnya, di Kawasan Kemang Raya, Jakarta,Rabu (29/8) malam.
Pria yang baru saja meluncurkan buku "Live After Death the Ultimated Journey" ini bahkan mengatakan islam pertama yang masuk ke Aceh adalah paham Syiah. Di gelombaang pertama, Syiah dipelihara oleh golongan habaib tetapi khusus keluarga tertentu, seperti keluarga Al-Muqdor.
"Makanya sangat mengherankan jika habaib ikut menyerang Syiah. Itu artinya mereka melawan agama nenek moyangnya," ucap Jalal. Namun pada zaman Syekh Araniri kekuasaan dipegang kaum Sunni. Saat itu, Syiah bersembunyi hingga datang gelombang berikutnya setelah revolusi Iran.
Revolusi Iran membuat Syiah mendadak punya negara. Dengan biaya negara, Syiah pun disebarkan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Yang membuat tertarik masyarakat bukanlah paham Syiah, tetapi lebih bertitik pada pemahamannya. "Pemikirinnya revolusioner," katanya.
Di gelombang dua ini, menjelang akhir orde baru, Syiah banyak dianut golongan intelek. Ini juga yang menjadi cikal bakal terbentuknya IJABI.
Bibit Konflik
Berlanjut ke gelombang tiga dimana ada sejumlah habaib yang datang dengan membawa fikih Syiah. Saat itulah mulai terjadi benih konflik. "Dulu saat masih dalam tahap pemikiran, tidak ada konflik. Begitu berkaitan dengan masalah fikih mulai terjadi perbedaan paham," ujarnya.
Populasi Syiah di Indonesia, kata Jalal, terbanyak di Bandung, Jawa Barat. Kemudian disusul di Makassar dan Jakarta. Jalal memperkirakan ada 500 ribu hingga lima juta jumlah warga Syiah di Indonesia. Di Sampang, Madura, sendiri jumlah warga Syiah tergolong kecil. Hal inilah yang disinyalir kerap menyebabkan penyerangan warga Syiah di Sampang. "Mungkin ada sekitar 700 orang. Biasanya orang hanya berani menyerang yang lemah," ucapnya.
Umumnya tidak mudah mengetahui apakah seseorang menganut ajaran Syiah atau tidak. Pasalnya mereka melakukan taqiyah atau upaya menyembunyikan identitas demi menjaga persatuan). Banyak diantara mereka yang menjadi ustadz di masjid-masjid. "Yang tahu mana Syiah ya hanya orang-orang Syiah sendiri," kata Jalal.
Ia berujar, warga Syiah tidak memiliki masjid di Indonesia sehingga membuat khatib Syiah berkhutbah di masjid Sunni. Bukan karena tidak memiliki cukup uang, namun tidak lain disebabkan karena khawatir akan ancaman pecahnya persatuan.
Syiah di Indonesia tidak mempunyai masjid, hanya gedung pertemuan di ITC, ittupun milik Iran. "Kami lebih cinta perdamaian ketimbang masjid. Daripada bertengkar dan kecintaan lebur, kami akhirnya memilih berbaur dengan sunni," ujar Jalal.