Jumat 24 Aug 2012 07:39 WIB

Putri di Belakang Istana

Lokasi V Spa
Foto: Republika /Agung Supri
Lokasi V Spa

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Abdullah Sammy/ Wartawan Republika

Alat kontrasepsi berbungkus merah muda tergeletak di meja kamar yang berjarak sekitar 200 langkah dari komplek Istana Negara Republik Indonesia. Televisi layar datar buatan Korea, pendingin udara keluaran Jepang, sebotol air mineral produksi perusahaan Prancis yang terletak di samping ranjang buatan dalam negeri, jadi penyambut tamu kamar itu.

Ruangan kamar terasa hening. Berbeda dengan lantai di bawahnya, di mana ratusan masyarakat berjejal untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Banyak balita dan lansia menjejahkan kaki di swalayan besar asal Prancis itu, tanpa tahu keberadaan kamar yang menyiagakan kontrasepsi bagi sang penghuni.

Keheningan kamar dan hiruk pikuk swalayan, bercampur menjadi satu di sebuah gedung pusat perbelanjaan besar di Jalan Gajah Mada no 3-5, Duta Merlin, Jakarta Pusat.  Pemandangan gedung swalayan Duta Merlin ini sekilas mampu dijangkau oleh mata telanjang dari gerbang Sekeretariat Negara di komplek istana kepresidenan.  Cukup menyeberang dari depan gerbang Sekretariat Negara, melintasi lampu lalu lintas Harmoni, melewati Gedung BTN, serta ruko di Duta Merlin Paza, maka sampailah pengunjung di depan gedung swalayan.

Namun untuk mengetahui keberadaan kamar berisi alat kontrasepsi, pengunjung harus terlebuh dahulu memasuki elevator yang terletak di muka swalayan. Tombol elevator yang menunjukkan 3B, akan membawa pengunjung meninggalkan suasana di seputaran Istana Negara Republik Indonesia, menuju kawasan prostitusi di kamar-kamar berisi alat kontrasepsi. Inilah tempat prostitusi berkedok griya pijat, spa, karaoke, dan hotel berinisial V Spa.

Sekitar 63 tahun yang lalu, gedung di belakang kawasan istana itu melahirkan sejarah besar bagi bangsa Indonesia. Di tempat yang kini tergeletak alat kontrasepsi, terjadi perjanjian Roem-Roijen. Inilah perjanjian awal yang menyepakati pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda.

Bunyi menggema dari pintu kamar berukuran sekitar 3X3 meter yang awalnya hening.

“Tok..tok..tok,”  bunyi itu diikuti sapaan akrab dari seorang wanita.

“Permisi Mas,” begitu suara yang terdengar sayup-sayup dari luar kamar.

Tanpa perlu kata balasan, wanita itu lalu membuka gagang pintu. Cahaya kamar saat itu redup. Redupnya cahaya juga ditunjang ornamen kamar yang serba hitam. Meja, ranjang, dan lapisan dinding seluruhnya berwarna gelap.

Namun kesan feminim juga tergambar dari corak bunga berwarna merah muda di dinding.  Penerangan redup dan pendingin udara sejuk, membuat pengunjung segera melupakan terik siang di sekitar kawasan Duta Merlin.

Cahaya yang redup itupun menutupi jarak pandang dari ranjang menuju wajah sang wanita pelantun salam. Si wanita melangkah maju. Dengan sepatu berhak tinggi, dia melaju menyapa setiap tamu. “Halo selamat siang mas,” begitu sapaan yang diucapkan sang wanita.

Tangannya menjulur, mengajak berjabat tangan. Dari jarak dekat barulah tampak seorang wanita berkulit putih dengan rambut lurus terurai.  Dialah si pelantun salam yang menghadirkan bunyi dari kamar yang hanya beberapa meter dari  pusat kekuasaan Republik Indonesia.

“Saya Siska. Sudah cocok atau mau tukar?” tanya Siska kali ini dengan nada yang lugas namun senyumnya tetap mengembang seperti sejak awal memasuki kamar.

Ketika mendengar kata cocok, sang wanita langsung membalikkan badan. Mendadak menuju arah pintu. Tangannya menjulur ke arah gagang pintu. Bukan untuk pergi, tapi untuk memutar tombol kunci. Kamar tertutup rapat. Hanya ada tamu, Siska, dan tuhan.

Sudah tahun kelima Siska keluar-masuk kamar prostitusi di Jakarta sebagai seorang pemijat plus wanita penghibur. Mei 2007 menjadi awal debutnya “naik-turun” ranjang di ibu kota. Tahun 2007 yang bertepatan dengan Pilkada DKI Jakarta, Siska datang untuk pertama kali dari kampungnya di Pekalongan Jawa Tengah.

Sebulan sebelum bulan mengarungi kerasnya ibu kota, Siska masih layaknya seorang gadis desa yang bekerja di dapur membantu orang tua. Sampai suatu ketika seorang karibnya berjunjung ke rumah Siska yang terletak di daerah Kramatsari. “Mau ikut kerja di Jakarta?” ajak sang karib pada Siska.

Siska saat itu ragu karena sang karib mengajak bekerja di tempat hiburan malam di Kelapa Gading. Butuh beberapa hari baginya yang saat itu masih berusia 20 tahun untuk mengiyakan ajakan sang karib. Kata “ya” itulah yang akhirnya mengantarkannya ke kamar prostitusi.

Sudah dua tahun terakhir ini, Siska menjadi putri di belakang kawasan istana yang menyambangi tiap kamar berisi alat kontrasepsi. Selain kontrasepsi, kamar yang sehari-hari disambangi Siska dilengkapi botol bir yang dijual pada pengunjung.

Botol bir tergeletak di meja hitam, berseberangan dengan meja berisi kontrasepsi. Kedua meja itu mengapit ranjang tempat Siska sehari-hari bekerja. Total ada sekitar 30 kamar di lantai 3B V Spa. Setiap kamar dilengkapi sebuah toilet transparan berlapis kaca.

Di kamar ini praktik pijat “plus” prostitusi berlangsung sejak tahun 2007. “Kamarnya semua sama seperti ini. Mau pijat atau yang sewa cewek (wanita penghibur) di depan, kamarnya 'tetep' sama,” ujar Siska menerangkan.

Seperti diungkapkan Siska, pijat hanya salah satu menu yang ditawarkan pada pengunjung begitu pertama kali menjajahkan kaki di V Spa. Menu tawaran lain terpampang jelas ketika elevator meninggalkan lantai swalayan menuju lantai 3B.

Begitu pintu elevator terbuka di lantai 3B, tiga orang wanita yang berdiri di meja lobi langsung menyambut pengunjung. “Selamat siang,” ucap salah satu petugas resepsionis dari balik meja hitam.

Selain meja di ruangan muka, Lobi V Spa dilengkapi dua sofa bagi pengunjung. Lobi seluas sekitar 4x6 meter itu menjadi gerbang awal menuju lokalisasi wanita penghibur yang berada di dalamnya.

Dari dalam lobi, aroma prostitusi masih sulit terendus lewat pandangan mata. Bahkan lobi V Spa lebih menyerupai kesan sebuah lobi hotel berbintang. Ada respsionis yang memakai seragam kerja, komputer, dan alat pembayaran elektronik yang lazim dijumpai di lobi penginapan papan atas.

Ketika berinteraksi dengan resepsionis, barulah terkuak bisnis prostitusi di belakang kawasan istana itu. Resepsionis akan langsung menerangkan daftar harga yang terpanpang di meja lobi. Angka Rp 250 ribu,  Rp 840 ribu, hingga Rp 1.400.000 terpampang jelas di meja hitam panjang.

“Ini kalau pijat yang Rp 250 ribu, ceweknya tidak bisa dipilih dan bisanya cuma pijat. Tapi kalau Rp 840 ribu ini bisa semua (hubungan suami istri) dan ceweknya bisa dipilih di dalam,” ujar seorang resepsionis menjelaskan secara gamblang paket yang tersaji.

Setelah memastikan jenis transaksi, pengunjung baru diperkenankan memasuki lokasi utama lokasi berlabel griya pijat dan tempat hiburan itu. Ada dua koridor yang memisahkan tujuan pengunjung setelah melalui lobi. Arah kiri membawa pengunjung ke lokalisasi pekerja seks impor. Sedangkan arah lurus, yang dipisahkan oleh pintu kaca, membawa pengunjung memasuki kamar ganti pakaian.

Ruang ganti berisi ratusan loker berwarna hitam, tempat menyimpan pakaian. Inilah tempat yang biasa digunakan oleh pengunjung yang datang untuk pijat dan menikmati fasilitas spa.

Setelah mengganti pakaian di kamar ganti, bunyi gemercik air langsung menjamah telinga. Bunyi ini berasal dari tiga kolam yang tersaji di belakang loker ganti pakaian. Dua kolam air panas berukuran sekitar 2X3 meter jadi pemanja tiap pengunjung. Kolam itu berlapiskan marmer hitam dengan kilatan lampu dari dalam air.

Air dengan suhu di bawah 10 derajat celcius, jadi menu yang tersaji di kolam paling kiri.  Namun bukan kolam yang jadi magnet utama ruangan besar di tengah lantai 3B.  Karena di depan kolamlah, putri-putri “dipampang” sebagai pusat perhatian.

Inilah wanita penghibur yang sering disebut sebagai lady escort (Lc) yang menjajahkan jasa layanan seksual di kamar hening berornamen serba hitam. “Ayo mau pilih yang mana. Montok apa yang tinggi,” kata salah satu Mami, sebutan bagi wanita yang menjadi perantara antara tamu dan wanita penghibur. 

Tawaran dari Mami ini pun kerap disambut oleh tamu pria yang memadati kolam. “Di sini memang terkenalnya ‘cewek’ nya cantik-cantik. Walau memang agak mahal dibanding tempat yang lain di sekitar Mangga Besar,” ujar salah satu pengunjung yang mengaku bernama Adi.

Sambil menjalankan tugasnya dari balik dinding gelap kamar, Siska menerangkan perbedaan antara Lc dengan dirinya yang pemijat.  Lc di V Spa, kata dia, cenderung berganti personel di setiap tahun.

Namun jasa pemijat, seperti Siska, lebih bertahan lama sebagai penghuni tetap V Spa.  “Kalau Lc memang tugasnya hanya main (berhubungan suami istri), bukan pijat. Kalau saya yang memang dilatih untuk pijat,” aku Siska.

Siska  mengaku sempat terbersit kekhawatiran jika sewaktu-waktu praktik di tempat kerjanya terbongkar olah aparat berwajib. Namun sejauh ini kekhawatirannya belum terbukti.

Sekalipun usahanya terletak hanya 100 meter dari kantor aparat yang paling berwajib di negeri ini, lokasi prostitusi itu tetap beroperasi dengan nyaman. Bahkan sejak pukul satu siang, prostitusi di lantai atas gedung swalayan itu telah membuka usahanya. “Last ordernya (praktik terakhirnya) jam 12 malam,” jelas Siska.

“Amannya” tempat prostitusi di dekat istana juga tidak terlepas penjagaan ketat yang dilakukan petugas internal V Spa. Dengan label petugas keamanan spa dan karaoke, sekitar tiga pria berbaju hitam bersiaga di depan muka gedung swalayan.

Menenteng alat radio komunikasi, pemantauan dilakukan seorang kepada pengunjung yang hendak masuk dari lantai dasar swalayan. “Ingin kemana Pak? tanya seorang petugas keamanan.

 

Dia pun langsung menerangkan lokasi menuju kamar prostitusi berlabel griya pijat. “Di lantai 3B pak,” pandu sang petugas. 

Tidak hanya saat masuk ke area masuk, mata-mata petugas juga bersiaga di pintu keluar lantai 3B. Pengunjung tidak diperkenankan berlalu dari badan besar dua orang petugas, sebelum menunjukkan kartu telah melunasi pembayaran kamar plus jasa wanita.

Dengan jasa kemanan berlapis hingga dini hari, lokasi prostitusi ini terus beroperasi. Tidak hanya aman soal keamanan lapangan, lokasi prostitusi ini juga aman secara regulasi. Lewat izin operasi yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta, prostitusi ini mampu berdiri dengan “nyaman” di belakang istana Republik Indonesia.

Republika coba menelusuri perizinan lokasi prostitusi ini ke Kantor Pemerintah Wali Kota Madya Jakarta Pusat. Dari ratusan halaman berisi data tempat hiburan dan pariwisata, nama V Spa  tertera jelas sebagai usaha yang dilegalkan pemerintah propinsi DKI Jakarta.

Izin V Spa  mamakai label kawasan bisnis karaoke, spa, griya pijat, musik hidup, dan bar. Tertera nama perusahaan berinisial PT AGJ sebagai pemilik lokasi karaoke dan spa.

Namun dalam daftar perizinan bar, tidak ada nama PT AGJ melainkan nama perorangan berinisal S sebagai penanggungjawab lokasi. Republika coba menelusuri sosok S yang menjadi penanggungjawab tempat penyaji jasa wanita penghibur itu.

Dari hasil penelusuran, terungkap bahwa pria berinisial S hanyalah berposisi sebagai Manajer Operasional yang namanya didaftarkan ke Pemda DKI sebagai salah satu penanggungjawab lokasi V Spa. Setelah ditelusuri, ternyata sosok S pun sudah tidak lagi bekerja di V Spa. “Bapaknya (pria berinsial S) sudah lama tidak lagi bekerja di sini,” aku salah satu karyawan V Spa.

Dari surat izin di Dinas Pariwisata DKI Jakarta V Spa terdaftarkan memiliki 500 karyawan. Seorang pejabat pemerintah kota Jakarta Pusat angkat suara prihal keberadaan tempat hiburan, terutama di belakang kawasan istana.

Pria berbaju dinas coklat dengan baris nama bertuliskan AA Setiabudi mengatakan, ada regulasi yang mengatur operasi lokasi hiburan, panti pijat, bar, dan karaoke.“Jadi mas, semua ada aturannya sesuai dengan peraturan daerah. Ini dia daftar aturannya,” ujar pria berpangkat Kasi Monitoring Sudin Pariwisata Jakarta Pusat itu sembari menunjukkan kepada Republika sebuah buku putih besar berisi ratusan halaman peraturan daerah.

Dalam aturan yang dipampangkan Setiabudi, tertera jelas peraturan Gubernur nomor 19 tahun 2007 tentang penyelenggaraah usaha griya pijat. Dalam penjabaran aturan itu, panti pijat diharuskan berada di kamar terbuka.

Pintu ruang pijat pun diharuskan terbuat dari kain.  Tempat pijat diwajibkan memasang kaca kontrol yang transparan dari luar dan tidak dikunci. “Kalau soal prostitusi tidak boleh dalam aturan izin manapun,” tegas Kasi Monitoring merujuk pasal 24 ayat 2 A peraturan gubernur yang berbunyi “Griya pijat dilarang memanfaatkan kegiatan sebagai tempat asusila,”

Namun Setiabudi tidak berkomentar banyak ketika ditanya soal praktik prostitusi di sejumlah tempat hiburan, termasuk V Spa, yang menyalahi izin. Pun halnya soal praktik usaha pijat yang berlangsung di kamar tertutup. “Wah, kalau itu agak sulit. Karena kami ini wewenangnya hanya sebatas pengawasan soal jam buka-tutup dan soal pembayaran pajak. Kalau soal prostitusi itu urusan polisi,”

Dalam aturan gubernur itu pemerintah DKI hanya menetapkan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, dan sanksi penutupan pada usaha prostitusi terselubung.  Aturan soal prostitusi pun kalah “garang” bila dibanding peraturan soal lingkungan. Sebagai gambaran, seorang yang membuang sampah sembarangan terancam dikenakan sanksi denda Rp 100 ribu hingga Rp 10 juta atau sanksi kurungan maksimal 60 hari.

Setiabudi sempat berujar; “Serba salah juga kita kalau mau menindak tempat itu. Tempat itu (V Spa) nyerap lapangan kerja yang banyak bagi masyarakat sekitar,”

Di kalangan Sudin Pariwisata Jakarta Pusat, nama V Spa  bukan lagi nama yang asing. Terbukti saat Republika membahas seputar izin tempat itu pada Kasi Monitoring, seorang pegawai lain yang sedang berada di kantor Sudin spontan berkata; “Oh, V Duta Merlin!” ujar sang pria menyelak pembicaraan Republika dengan sang Kasi Monitoring.

Setiabudi menjelaskan, selama ini V Spa belum pernah ditegur atau diberi sanksi terkait praktik usahanya yang hanya beberapa meter di belakang istana. “Selama inipun belum ada protes dari warga sekitar,”

Setiabudi juga mengungkapkan proses perizinan hingga V Spa bisa berdiri di tengah swalayan yang hanya berjarak 100 meter dari istana presiden. Izin pendirian bermula saat sang pemilik PT AGJ, memperlihatkan surat izin bangunan. “Setelah itu yang bersangkutan meminta izin dari tetangga sekitar. Dan semua telah dipenuhi maka bisa berdirilah tempat hiburan itu,”

Republika coba melakukan konfirmasi kepada pihak V Spa terkait praktik prostitusi yang dijalankan di atas gedung swalayan. Awalnya, seorang wanita mengaku bernama Iin berujar; “Ya kita pasti ada koordinasi dengan Pemda soal aturan,” ujarnya menjawab pertanyaan soal sosialisasi aturan dari pemerintah.

Namun ketika ditanya soal prostitusi, sang wanita tiba-tiba mengganti namanya; “Maaf ini sekarang dengan Ibu Andi,” ujarnya dengan nada yang nyaris identik dengan suara Iin. Dia pun langsung mengakhiri pembicaraan. “Maaf, kami gak bisa memberikan banyak keterangan,” sambungan telepon pun terputus.

Sejatinya, tidak hanya V Spa yang menjalankan praktik prostitusi di belakang kawasan Istana. Tercatat lebih dari 25 tempat yang sama menjalankan operasi usaha berkedok pijat karaoke, atau hotel di Jakarta Pusat. Namun pada praktiknya, prostitusilah yang dijual.

Seperti tempat karaoke dan hotel berinisal E di Jalan Pecenongan No 29. Pola usahanya tempat itu identik dengan V Spa, di mana jasa layakanan seks bisa dipesan dari meja lobi. “Memang usaha hiburan ini umumnya para pemiliknya itu-itu juga. Walau di izinnya, namanya beda-beda,” terang Setiabudi.

Salah satu warga yang tinggal di sekitar V Spa , Hendaru, mengaku tidak mengetahui bahwa di usaha spa dan karaoke itu memiliki layanan “plus-plus”. “Yang saya tahu, memang di luaran (di belakang Duta Merlin) ini banyak tempat hiburan yang di dalamnnya banyak perempuan yang bisa dibooking,” ujarnya.

Namun warga yang tinggal di Jalan Petojo Binatu 2 ini menyerahkan sepenuhnya persoalan prostitusi di sekitar wilayah tempat tinggalnya itu kepada aparat berwenang. “Selama ini saya sih taunya itu gedung swalayan. Tapi warga sini menyerahkan sepenuhnya pada aparat saja kalau memang ada kegiatan seperti prostitusi,”

Seperti yang dikatakan Hendaru, warga sekitar hanya menyadari keberadaan swalayan asal Prancis di depan pemukimannya. Sedangkan V Spa dianggap hanya sebagai fasilitas pelengkap di gedung perbelanjaan tersebut.

Namun bila melihat padatnya kendaraan yang memadati parkiran khusus V Spa , tidak ada kesan bahwa tempat itu hanya sebatas pelengkap pusat perbelanjaan. Jumlah kendaraan yang terparkir di area khusus V Spa, bahkan mampu menandingi roda empat yang menuju lokasi swalayan. 

Padatnya pengunjung V Spa ini tidak terlepas sajian wanita impor yang berasal dari sejumlah negara di Asia dan Eropa.  Veleri menjadi salah satu pekerja seks impor yang menghuni lokasi di belakang kawasan istana. Tepat di samping ruangan lobi, Valeri duduk santai di sebuah sofa berwarna krem.

Dengan aplikasi elektronik yang dikenakan di telinga, sang wanita bertinggi sekitar 180 sentimeter itu menyapa; “Hello, my name Valeri (hallo, nama saya Valeri),” ujar sang wanita impor memperkenalkan diri.

Valeri menerangkan prihal kedatangannya di V Spa. “Saya baru beberapa minggu datang bersama seorang teman dari Tashkent (Uzbekistan). Saya hanya tiga bulan di sini dan saya akan kembali ke Uzbekistan,” ujar Valeri yang turut menjelaskan kedatangannya disponsori seorang agen asal Jakarta.

Valeri mengaku, dirinya kerap menjajahkan layanan seks di tempat lain di Jakarta. Namun dalam kedatangan yang ternyata sudah ketiga kalinya itu, dia hanya akan bertugas di V Spa. “Senang kerja di sini. Lelaki di sini baik dan royal, ” ujar Valeri yang mengembangkan senyum saat berbicara. 

Walhasil keberadaan Valeri dan beberapa wanita berkewarnagergaraan Rusia dan Cina, membuat lokasi di belakang istana itu menjadi arena prostitusi antarbangsa.

Jasa wanita internasional dan harga menjulang membuat konsumen yang hadir di lantai 3B berasal dari kalangan berada. Terlihat dari kendaraan keluaran di atas tahun 2010 yang memadati lokasi parkir khusus V Spa.

Setelah memasuki ruangan di belakang lobi, barulah tampak sekumpulan pria “berduit” itu. Mereka umumnya datang datang berkelompok dengan teman kantor.

“Cewek-ceweknya top. Terutama cungkok (wanita impor asal Cina)nya. “Main” dan attitudenya bagus,” ungkap salah satu pengunjung, Agung (bukan nama sebenarnya),  yang mengaku datang bersama rekan kerja.

Kelompok pria  seperti Agung dan dua orang rekannya ini  kerap berkumpul di ruang kolam yang langsung berbatasan dengan ruangan para wanita penghibur . Ruangan wanita dan tempat konsumen hanya terpisahkan kaca transparan berukuran sekitar 1X5 meter.

Selain kaca transparan, ruang ini memiliki bangku panjang yang memenuhi ruang seluas 3X5 meter. Di bangku itulah sekitar 30 wanita penghibur dengan pakaian minim coba memikat pegunjung. Para wanita duduk di atas bangku sambil berdandan ataupun membaca majalah.

Berbeda dengan wanita penghibur yang duduk di ruangan kaca, tenaga “pemijit plus” (seperti Siska) berada di sebuah ruangan tertutup. Mereka yang dibandrol Rp 250 ribu itu langsung mendatangi kamar begitu ada “order” pijat datang dari meja lobi.

Tamu V Spa yang berniat memijat pun akan diarahkan langsung oleh petugas lobi untuk menuju kamar yang juga berada di lantai 3B itu. Setelah tamu memasuki kamar, barulah sang pemijat datang.  Tamu memiliki hak untuk mengganti sang pemijat jika dirasa tidak cocok dengan selera. Batas pergantian pemijat hanya berlaku sekali.

Namun bukan berarti sang pemijat hanya bertugas untuk menyajikan jasa pijat saja. Seperti yang diungkapkan Siska di dalam kamar.  “Saya pun bisa layanan tambahan kalau mau. Tapi ada biaya tambahan. Jadi totalnya Rp 800 ribu,”

Sontak Siska langsung menghentikan pijatannya ketika mulai menjajahkan diri. Sembari tersenyum simpul dan memegangi rambut, dia melanjutkan tawarannya; “Mau? Tambah Rp 300 ribu deh,” Begitulah cara Siska “mempromosikan” tubuhnya kepada tiap pria dari balik kamar yang terletak di belakang kawasan istana.

Dari pengakuannya, setiap hari Sisika minimal mendapat satu tamu pria dengan permintaan layanan ‘plus’. “Kondom ( alat kontrasepsi) ini memang disediakan kalau tamu minta tambahan plus,” kata Siska menunjukkan fungsi kontrasepsi berwarna merah muda yang sejak awal tergeletak di kamar. “Kondom seperti ini ada di tiap kamar,” tambahnya.

Dengan jam kerja enam hari dalam sepekan, Siska sedikitnya mendapatkan 24 tamu dalam sebulan. Dan dalam dua tahun menjadi juru hibur di kawasan hiburan di Jakarta Pusat itu, sudah sekitar 576 tubuh pria yang dia ‘singgahi’. “Semua yang datang ke sini rata-rata untuk layanan plus,” ungkap Siska.

Larisnya usaha prostitusi seperti yang dipraktikkan Siska dan Valeri di lokasi belakang istana mengundang keprihatinan dari pengamat sosial Universitas Indonesia, Ade Erlangga Masdiana. Praktik di lokasi berkedok tempat hiburan dan panti pijat itu, kata Erlangga, menjadi cermin terjadinya perdagangan manusia.

Praktik perdagangan manusia pun berlangsung hanya beberapa meter dari pusat kekuasaan republik ini. “Para pekerja prostitusi ini sebenarnya secara sosiologi hukum bisa dikatakan sebagai korban. Mereka korban dari ekploitasi yang dilakukan oleh para pengusaha yang memperdagangkan seks,” ujar Ade,  mengomentari nasib putri bangsa di belakang istana seperti Siska.

Pria yang sehari-hari mengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI ini menilai, lokasi prostitusi di sekitar pusat kekuasaan juga membuktikan ketidakpekaan pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Pemerintah dinilainya abai dalam mengeluarkan proses pengawasan dan perizinan. “Selama tidak ada kepekaan moral dan agama dari Pemda, segala praktik itu akan tetap subur terjadi,”

Prostitusi di belakang kawasan istana juga dinilai Erlangga sebagai cermin dunia hitam ibu kota sudah merambah ke segala kawasan, termasuk di tengah swalayan dan sekitar pusat kekuasaan negara ini. “Kejahatan bisa saja terjadi di mana-mana. Bahkan di dalam rumah sekalipun,” katanya.

Bagi Siska, cercaan, simpati, hingga keperihatinan sudah berulang kali didengar. Namun semua itu belum mampu mengubah jalan hidupnya sebagai pemijat plus wanita penghibur. Wanita 25 tahun yang setiap hari bertugas dengan pakaian hitam itu pun berujar pelan akan nasibnya yang sudah dua tahun jadi putri di belakang kawasan istana; “Saya butuh uang mas. “Saya nggak punya pilihan," ujar Siska pasrah.

                                                                    ***

Siska dan puluhan putri penghibur lain adalah potret yang kini tersaji di gedung yang sejatinya menyimpan warisan sejarah bagi bangsa ini.  “Gedung yang sekarang jadi swalayan Prancis itu, dulunya adalah Hotel Des Indes, tempat yang besejarah yang melahirkan perjanjian Roem-Roijen dan menjadi tempat rapat BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia),” terang pakar Sejarah Jakarta, Alwi Shahab.  Di tempat itu pula, Indonesia di masa presiden Soekarno, menerima tamu negara yang hadir dalam Gerakan Asia Afrika.   

Dari arsip yang dilansir dari Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute, terungkap bahwa Hotel Des Indes mengalami sejumlah perubahan sejak pertama kali berdiri. Hotel Des Indes awalnya bernama Hotel de Provence yang didirikan seorang Prancis bernama Etienne Chaulan tahun 1829.

Pada tahun 1851, hotel ini diambil alih oleh pengusaha Cornelis Denning Hoff asal Belanda dan diganti namanya menjadi Rotterdamsch Hotel. Setahun berselang, pengusaha berkebangsaan Swiss, Francois Auguste Emile Wiijss, mengambil alih hotel ini.

Pada 1 Mei 1856, nama Des Indes secara resmi dipakai. Nama Des Indes diusulkan oleh Douwess Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Multatuli, penulis roman Max Havelaar, yang sering singgah di Rotterdamsch Hotel.

   

Des Indes dijual kembali lagi pada pria berkebangsaan Prancis bernama Louis Cressionnier tahun 1860. Seorang koresponden majalah terkenal Prancis, Le Tour du Monde, De Molins, pernah singgah di hotel ini pada tahun 1860. De Molins memuji keindahan ruang makan hotel yang disebutnya bak lukisan Les Noces de Cana karya Paul Verones.

Pengunjung lain yang pernah menulis kesannya adalah naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace. Dalam buku kisah perjalanannya yang termasyhur, The Malay Archipelago, ia menulis bahwa Hotel Des Indes sangat nyaman dengan kamar tidur yang menghadap ke beranda.

   

Hotel Des Indes kemudian beberapa kali berganti pemilik sampai akhirnya menjadi perusahaan perseroan terbatas dengan nama N.V. Hotel Des Indes di awal abad 20. Di periode inilah, Des Indes telah menjadi hotel paling mewah di seluruh Hindia Belanda, bahkan kelasnya melampaui Hotel Raffles di Singapura.

   

Setelah Hindia Belanda runtuh, Des Indes diambil alih oleh pemerintah Jepang dan dijadikan tempat menginap para pejabat Jepang yang datang ke Indonesia. Mohammad Hatta juga pernah ditempatkan sementara di hotel ini oleh Jepang sebagai tawanan.

Sesudah Perang Dunia ke II, Des Indes kembali dikelola secara profesional oleh pengusaha Belanda, G.P.M. van Weel. Pada masa ini, Des Indes menjadi tempat menginap para wartawan dan diplomat asing. Bahkan beberapa diplomat menyewa ruangan di hotel untuk dijadikan kantor perwakilan sementara.

Pada tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan republik dan sebagian aset pemerintah Belanda disita oleh pemerintah Indonesia. Hotel Des Indes termasuk salah satu yang diambil alih tanpa membayar ganti rugi. Nama Hotel Des Indes kemudian diganti menjadi Hotel Duta Indonesia sebagai bagian dari gerakan nasionalisasi. Hotel ini masih ramai pada tahun 1950-an dan tetap menjadi hotel berkelas mewah di Jakarta.

Namun, ketika Hotel Indonesia berdiri pada tahun 1962, Hotel Duta Indonesia mulai ditinggalkan dan akhirnya tutup pada akhir 1960-an. Kisah hotel bersejarah inipun berakhir pada 1971. Ketika itu, pemerintah mengubah fungsi hotel menjadi pusat perbelanjaan Duta Merlin

Kini, riwayat gedung bersejarah hanya sebatas kisah di buku sejarah. Situs yang jadi saksi perjalanan bangsa itu telah berubah fungsi menjadi alas prostitusi di belakang kawasan istana negara Republik Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement