REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Anggota Komisi I (Bidang Pertahanan dan Intelijen) DPR, Tjahjo Kumolo, menilai aksi teror beruntun khususnya di Solo pada H-2 dan H-1 Lebaran 2012 menunjukkan operasi intelijen deteksi dini tidak jalan pascainsiden.
"Teror yang terjadi berturut-turut menjelang Idulfitri 1433 Hijriah menunjukkan aparat di Solo tidak mampu," katanya di Semarang, Rabu (22/8) malam. Dia menanggapi aksi penembakan dan pelemparan granat di pos pengamanan Lebaran, wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Surakarta dalam kurun waktu 17-18 Agustus 2012.
Teror yang terjadi beruntun di Solo pertama terjadi pada H-2 (17/8) Lebaran atau bertepatan dengan HUT Ke-67 Kemerdekaan RI. Aksi penembakan ini terjadi di Pospam Lebaran Gemblekan, tepatnya di pojok simpang empat atau depan BPR di Jalan Yos Sudarso. Akibatnhya, dua dari delapan polisi yang berada di pos itu terluka.
Kemudian, terjadi lagi saat sebagian umat muslim mengumandangkan takbir, Sabtu (18/8) sekitar pukul 23.32 WIB atau pada H-1 Lebaran. Terdengar ledakan cukup keras di Pospam Gladak, Kota Solo. Asal suara itu diduga dari benda jenis granat yang dilempar oleh pengendara sepeda motor tak dikenal.
Implikasi politik akan ada walaupun penembakan atau bom kecil yang terjadi saat ini belum ada indikasi politis, apalagi terkait dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Meski belum ada indikasi yang mengasosiasikan pada Wali Kota Surakarta, Joko Widodo sebagai pemenang putaran pertama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Tjahjo menegaskan bahwa aparat Polresta Surakarta, Kodim 0735/Surakarta, atau Korem 073/Makutarama harus selalu waspada.
Di samping itu, aparat Badan Intelijen Negara (BIN) daerah harus proaktif. Ia menandaskan seharusnya begitu ada gejolak beberapa kali, mereka langsung mengantisipasinya. Oleh karena itu, perlu dievaluasi posisi Komandan Kodim 0735/Surakarta dan Kepala Polresta Surakarta terkait kasus di Solo menjelang Lebaran.