Kamis 09 Aug 2012 07:00 WIB

Bukber

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Bambang Banguntopo
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Bukber, akronim yang kian populer belakangan ini, khususnya sepanjang bulan puasa Ramadhan. Bangsa kita memang paling suka membuat akronim, singkatan yang bisa jadi membingungkan setidaknya pada awal pengenalannya. Bukber ternyata adalah singkatan (ber)buka bersama yang tentu saja diselenggarakan dalam kaitan dengan ibadah puasa Ramadhan. Bukber yang disebut iftar dalam bahasa Arab atau iftariye menurut bahasa Turki-juga relatif baru di kalangan umat Islam Indonesia.

Tetapi, istilah iftar lazim digunakan kaum Muslim lain, baik di dunia Arab, Asia Selatan, dan juga di kalangan umat Islam dalam diaspora mereka di Eropa dan Amerika Utara. Saya masih ingat, ketika masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Columbia University pada paruh kedua 1980-an, MSA (Muslim Student Association) setiap akhir pekan menyelenggarakan iftar; juga di Islamic Center, Riverside Drive, New York.

Ketika menjadi Southeast Asian Fellow di Universitas Oxford pada 1994, hampir setiap akhir pekan saya juga menikmati iftar di Masjid Regent Park, London. Saya mulai menemukan istilah “buka bersama” ketika KJRI New York juga menjamu masyarakat Muslim Indonesia. Tetapi, istilah iftar tidak lazim digunakan. Biasanya, buka bersama di KJRI bersambungan dengan shalat Maghrib, Isya, tarwih, dan witir berjamaah.

Di sini ada ibadah, silaturahim kangen-kangenan, dan makan enak sekaligus karena lama tak ketemu makanan Indonesia. Meski boleh dikatakan setiap negara dan masyarakat Muslim di manapun menyediakan takjil-makanan sederhana untuk membatalkan puasa-atau iftar, makanan lengkap, di rumah atau masjid, tidak banyak yang menyelenggarakannya secara komunal sambung menyambung hampir setiap hari. Iftar biasanya diselenggarakan hanya sekali atau dua kali sepekan.

Tetapi, di Indonesia bukber setidaknya dalam dasawarsa terakhir, kian menjadi gejala budaya-keislaman Indonesia yang distingtif. Iftar diselenggarakan hampir seluruh lapisan kalangan, sejak dari pejabat pemerintah, partai dan elite politik, pengusaha, kalangan artis dan selebritas, lingkungan pertemanan di kantor dan perusahaan-bisnis, serta pertetanggaan.

Iftar juga kian sering diadakan kalangan diplomatik asing negara-negara Arab dan Muslim lain; negara-negara Barat (seperti Amerika Serikat dan Inggris), atau Asia semacam Jepang, yang pada dasarnya menganut sekularisme, pemisahan antara urusan politik dan pemerintahan dengan agama. Penting juga dicatat, mayoritas jamaah iftar tentu saja adalah kaum Muslim. Tetapi, iftar kini kian melintasi batas-batas keagamaan.

Dalam berbagai iftar sering warga non-Muslim juga ikut merasakan nikmatnya berbuka puasa bersama dan proses seperti ini berlangsung tanpa ada yang mengaitkannya dengan urusan fikih. Mantan wakil presiden M Jusuf Kalla dalam kesempatan bukber pekan lalu menyatakan, bukber menjadi sangat menarik dan meriah karena sedikitnya tiga hal. Pertama, terkait dengan ibadah Ramadhan itu sendiri; kedua, merupakan kesempatan baik untuk silaturahim; dan ketiga, berbagi nikmat makanan yang sering sangat beragam dan enak.

Karena itulah, pengalaman bukber memberikan banyak makna. Meski, dalam pengalaman saya, jika semua undangan iftar dipenuhi, hampir tidak ada lagi kesempatan berbuka puasa bersama keluarga di rumah sendiri. Fenomena bukber atau iftar di Indonesia pertama-tama jelas terkait dengan ibadah puasa Ramadhan itu sendiri. Tetapi, pada saat yang sama bukber kini juga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sosial-budaya, ekonomi, dan bahkan politik.

Secara sosial-budaya, fenomena bukber banyak terkait dengan proses santrinisasi dan peningkatan kelengketan baru pada Islam yang sudah bermula sejak akhir 1980-an. Dan, ini berbarengan dengan peningkatan pendidikan dan mobilitas sosial-ekonomi yang memunculkan kelas menengah Muslim yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Mereka ini, dengan kelebihan rezekinya kian mampu mewujudkan tradisi filantropi Islam; tidak hanya dalam pemberian zakat, infak, dan sedekah (ZIS) tetapi juga dalam memberi dan berbagi (sharing and giving), termasuk menyelenggarakan bukber, menyediakan makanan untuk iftar, dan juga untuk sahur.

Namun, lebih daripada itu, bukber kini juga melibatkan sisi-sisi lain. Ada bukber yang misalnya ditumpangi kepentingan bisnis misalnya untuk promosi produk baru. Atau, untuk kepentingan politik tertentu-membangun dan memperkuat jaringan politik dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika politik hari ini dan ke depan.Tidak ada yang patut disesali dengan perkembangan bukber yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut; sebaliknya mesti disyukuri.

Perkembangan semacam itu merupakan konsekuensi logis demografi Indonesia yang mayoritas Muslim dan sekaligus merupakan hal tidak terelakkan dari distingsi kaum Muslim Indonesia yang gemar hidup komunal, ngumpul-ngumpul, dan silaturahim, tetapi tetap bersikap inklusif-menerima kehadiran pihak lain tanpa masalah. Ramadhan menjadi bulan berkah bagi semua.

Dilihat dari konteks ini, bukber merupakan wahana penting bagi pengukuhan kohesi sosial, tidak hanya intra-Muslimin, tetapi juga dengan lingkungan warga masyarakat lebih luas. Bukber menjadi bentuk ekspresi penting dalam tradisi Muslim Indonesia untuk saling memberi dan berbagi yang sangat instrumental dalam memperkuat jaringan tenunan sosial masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat tanpa kohesi sosial bisa dipastikan jauh lebih rentan terhadap disharmoni dan bahkan konflik yang dapat mencabik-cabik keutuhan negara-bangsa.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement