REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M. Ramli mengatakan masyarakat internasional merasa kagum dan tertarik mensosialisasikan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
"Dari pertemuan saya beberapa waktu lalu dengan dirjen HKI dari negara lain, termasuk juga Malaysia, mereka kagum tentang pendekatan sosial dan kultural lewat agama tentang kekayaan intelektual," kata Ahmad M. Ramli di acara "Sosialisasi Fatwa MUI tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)" di Jakarta, Selasa.
Ahmad juga menceritakan tentang kekaguman pejabat pemerintahan Malaysia yang datang ke kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan berniat ingin mensosialisasikan fatwa ini kepada masyarakatnya. "Pada intinya mereka ingin menyampaikan kepada masyarakatnya bahwa membajak itu haram," katanya.
Menurut Ahmad, masyarakat intenasional kagum dengan sarana pendekatan unsur budaya dan sosial melalui fatwa ini yang efektif untuk mencegah pembajakan dan pemalsuan yang melanggar hak kekayaan intelektual di Indonesia.
Ahmad mengatakan Kemenkumham mendukung fatwa ini sejak dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005.
MUI mengeluarkan fatwa tentang Hak Cipta pada 2003. kemudian dua tahun berikutnya, 2005, MUI menyusun fatwa tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Menurut Ahmad kegiatan apapun yang dilaksanakan dengan sumber daya hasil pembajakan atau pemalsuan tidak akan memberikan dampak positif. Dia mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap pembajakan perangkat lunak (software) yang semakin meningkat.
"Saat 'sweeping' di plaza semanggi berhasil menghimpun 2 ton vcd bajakan, belum dengan mal-mal lainnya," katanya.
Fatwa ini penting untuk melindungi masyarakat dari barang-barang palsu yang berdampak negatif dan juga para kreator yang telah berinovasi, kata Ahmad. "Jika yang dipalsukan itu obat-obatan bisa saja menyebabkan kematian, atau onderdil kendaraan bermotor, bisa menyebabkan kecelakaan nantinya," katanya.
Dengan adanya fatwa ini, Ahmad menilai Indonesia memiliki dasar-dasar agama yang kuat untuk melindungi masyarakat dari barang palsu atau bajakan. "Upaya yang signifikan itu secara kultural, sosiologis untuk menunjukkan pada masyarakat, bahwa pembajakan itu haram," katanya.