REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai kasus pertambangan sebagian besar tidak mampu diselesaikan tuntas oleh pemerintah. Bahkan, terkesan pemerintah menganggap sebagai masalah biasa, sementara kekayaan alam bangsa ini tergerus dan habis di ekploitasi asing yang tidak secara maksimal memberi manfaat untuk kepentingan nasional.
Anggota Komisi VII DPR, Dewi Aryani, mengatakan PT Freeport tidak punya niat menyelesaikan renegosiasi. "Kasus mandegnya renegosiasi mencerminkan Freeport memang tidak ada niat baik. Harga diri bangsa ini diinjak-injak tanpa daya apapun yang bisa dilakukan untuk melawan arogansi Freeport," ujarnya, Sabtu (28/7).
Meskipun, saat ini pemerintah mengajukan enam butir renegosiasi, yakni terkait luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang atau jasa pertambangan dalam negeri.
Dari keenam butir renegosiasi tersebut, hingga saat ini hanya butir kenaikan royalti emas yang disetujui oleh PT Freeport. Royalti emas yang awalnya hanya sebesar 1 persen setuju dinaikkan menjadi 3,75 persen dari harga jual per ton, yang sebenarnya sangat tidak signifikan bagi negara.
Dewi menambahkan, langkah renegosiasi yang dilakukan Pemerintah dengan Freeport ini seharusnya juga dijadikan momentum untuk mereposisi sektor energi di Indonesia. Terlebih lagi, kata dia, sektor energi di Indonesia sampai saat ini masih dirundung oleh ketidakjelasan orientasi pengelolaan.
Dinilainya, pemerintah tidak mampu menjalankan amanah dalam konstitusi, yaitu UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (2) yang mengamanahkan peran Pemerintah sebagai penanggung jawab pengelolaan SDA yang ada di seluruh Indonesia. "Pemerintah tidak mampu menjalankan amanah yang semestinya bahkan tertuang dalam UUD 1945,"ungkap Dewi.