Rabu 25 Jul 2012 17:09 WIB

Kejakgung Fokus Tangkap Djoko Tjandra

Rep: Erdy Nasrul / Red: Djibril Muhammad
Darmono
Foto: Antara
Darmono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) enggan mengomentari kabar adanya pengacara di Indonesia yang membantu perpindahan kewarganegaraan buron cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Pihaknya menyatakan hanya fokus dalam penanganan pemulangan buron itu.

"Saya belum bicara sejauh itu," jelas Wakil Jaksa Agung, Darmono, di Jakarta, Rabu (25/7).

Menurutnya, yang terpenting adalah Djoko Tjandra telah menggunakan keterangan yang palsu. "Keterangan yang disampaikannya tidak benar dalam pemutusan dia sebagai Warga Negara Papua New Guinea," paparnya.

Darmono mengaku belum mendapatkan keterangan resmi dari Pemerintah PNG terkait perpindahan kewarganegaraan Djoko Tjandra. "Saya belum membaca keputusan dia pindah WN," imbuhnya.

Kejaksaan agung sampai saat ini belum mendapatkan cara untuk bisa memulangkan buronan cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Tjandra.

Djoko Tjandra merupakan buron dalam kasus (hak tagih) cessie Bank Bali. Kasus ini bermula pada 11 Januari 1999 ketika disusun sebuah perjanjian pengalihan tagihan piutang antara Bank Bali yang diwakili Rudy Ramli dan Rusli Suryadi dengan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Persada Harum Lestari, mengenai tagihan utang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp38 miliar. Pembayaran utang kepada Bank Bali diputuskan dilakukan selambat-lambatnya pada tanggal 11 Juni 1999.

Selain soal tagihan utang Bank Bali terhadap Bank Tiara, disusun pula perjanjian pengalihan tagihan utang antara Bank Bali dengan Djoko Tjandra mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN) sebesar lebih dari Rp 798 miliar.

Pembayaran utang kepada Bank Bali diputuskan dilakukan selambat-lambatnya 3 bulan setelah perjanjian itu dibuat. Untuk perjanjian tagihan utang yang kedua ini, Joko Tjandra berperan selaku Direktur PT Era Giat Prima.

Djoko diduga meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusumah di Jakarta ke Port Moresby pada 10 Juni 2009, hanya satu hari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement