Sabtu 21 Jul 2012 04:08 WIB

Duh, Ada Kasus Perceraian tak Wajar, Seperti Apakah?

Cerai (ilustrasi)
Foto: www.mediaislamnet.com
Cerai (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR---Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Daerah Bali saat ini menangani kasus perceraian yang dinilainya tidak wajar.

Ketidakwajaran itu muncul dalam putusan perceraian antara Ni Kadek Sariasih (33 tahun) dengan suaminya I Kadek Wirawan (33) belum memiliki kekuatan hukum tetap, namun akta perceraian sudah diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng.

"Sangat mengherankan Kantor Catatan Sipil Buleleng berani mengeluarkan Akta Perceraian, padahal putusan perceraian perkawinan mereka belum ada ketetapan hukum dan secara hukum syarat-syarat pengajuan akte perceraian belum terpenuhi," kata Direktur LBH APIK Bali Ni Nengah Budawati di Denpasar, Jumat.

Hal itu dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Menurut dia, Pasal 40 Ayat 1 UU Nomor 23/2006 menyebutkan bahwa perceraian wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada instansi pelaksana paling lambat 60 hari sejak putusan pengadilan tentang perceraian yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dia mengungkapkan bahwa dengan adanya ketetapan hukum itu, Pejabat Pencatatan Sipil baru bisa mencatat pada register akta perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian sesuai dengan bunyi Ayat 2.

Namun proses hukum terkait perlawanan atas putusan cerai secara sepihak itu pun hingga kini masih terus berjalan di Pengadilan Negeri Denpasar dan belum ada kekuatan hukum tetap atau "inkracht". Pengajuan perlawanan hukum itu dilakukan oleh LBH APIK pada 25 Mei 2012.

Sebelumnya Sariasih diceraikan suaminya secara "verstek" atau tanpa kehadiran tergugat setelah menerima Risalah Putusan Pengadilan Negeri Denpasar pada 16 Mei lalu.

Wanita yang telah dikaruniai dua anak itu pun pun tidak menyangka akan diceraikan meski masih tinggal bersama.

Lembaga bantuan hukum itu pun juga prihatin karena suami kliennya itu diketahui telah mengganti Kartu Tanda Panduduk (KTP) dengan status "belum kawin" dengan menggunakan kartu keluarga orang tuanya. "Saat ini kami telah melaporkan hal itu ke Direktorat Resor Kriminal Umum Polda Bali," tambahnya.

Pihaknya mengkhawatirkan kejadian itu menjadi preseden buruk dan kebiasaan untuk memudahkan keluarnya suatu dokumen hukum yang bisa menimbulkan efek negatif dan merugikan perempuan serta anak-anak.

sumber : Antara

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement