Selasa 17 Jul 2012 20:54 WIB

Eva: Reformasi Banggar DPR dan Polri Masih Sulit

Pekerja sedang menyelesaikan renovasi ruangan Badan Anggaran di gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/1). Renovasi ruang rapat Banggar ini menelan dana tak kurang dari Rp 20 miliar.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pekerja sedang menyelesaikan renovasi ruangan Badan Anggaran di gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/1). Renovasi ruang rapat Banggar ini menelan dana tak kurang dari Rp 20 miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Anggota Komisi III DPR RI Eva Sundari Kusuma menilai reformasi Badan Anggaran (Banggar) DPR dan Polri masih sulit karena komitmen politik dari pimpinan kedua lembaga itu belum terlihat.

"Secara umum, reformasi DPR sudah mulai dilakukan, termasuk reformasi Setjen DPR RI, tetapi reformasi Banggar DPR tidak mudah," katanya dalam lokakarya 'Reformasi Birokrasi dan Keterbukaan Informasi Publik' JPIP-USAID di Surabaya, Selasa.

Ia mengemukakan hal itu dalam lokakarya yang juga dihadiri Wamen PAN/Reformasi Birokrasi Eko Prasodjo, Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Abdul Rohman Makmun, dan Kabiro Organisasi Pemprov Jatim Ratna Ismaon.

Menurut dia, reformasi parlemen sudah dirancang melalui UU Susduk, seperti aturan "semua rapat DPR tertutup, kecuali pimpinan menyatakan terbuka" telah diubah menjadi "semua rapat DPR terbuka, kecuali pimpinan menyatakan tertutup".

"Kita juga sudah mereformasi jajaran Setjen DPR. Mereka akan diawasi BURT dan Ketua DPR secara otomatis menjadi Ketua BURT," katanya.

Namun, kata dia, reformasi untuk Banggar DPR itu sulit karena rapat-rapat Banggar tidak mau terbuka. "Itu duit rakyat, mestinya terbuka, tetapi mereka bilang mayoritas Banggar minta rapat-rapat Banggar itu tertutup," katanya.

Dalam lokakarya yang juga dihadiri sejumlah kepala daerah di Jatim, di antaranya Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, dia mengatakan hal yang juga sulit adalah reformasi Polri.

"Reformasi Polri secara 'blue print' itu sudah ada, tetapi komitmen politik dari pimpinan yang sulit dan mungkin juga ada intervensi pemerintah sehingga 'blue print' itu banyak nggak ditaati," katanya.

Ia mencontohkan "blue print" tentang perlunya organisasi dan dukungan anggaran untuk polsek diperbesar untuk memperbesar layanan Polri kepada masyarakat.

"Itu sudah disepakati antara DPR dan Kapolri, tetapi praktiknya justru Mabes Polri yang diperbesar melalui berbagai bentuk 'desk' yang menyedot anggaran cukup besar," katanya.

Hal itu berdampak pada nominal anggaran transportasi yang diterima anggota Babinkamtibmas yang hanya Rp25 ribu/bulan, padahal seharusnya tidak sekecil itu.

"Bisa saja, pimpinan Polri di tingkat kabupaten, kota, dan kecamatan meminta dukungan pemerintah daerah setempat, tetapi hal itu sebenarnya sudah ada dalam 'blue print' yang tidak dilaksanakan," katanya.

Senada dengan itu, Wakil Ketua DPD RI Laode Ida mengatakan bahwa 75 persen reformasi birokrasi itu sangat ditentukan komitmen politik dari seorang pimpinan. "Kalau reformasi administrasi, sumber daya manusia, dan sebagainya hanya 25 persen," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement