Selasa 17 Jul 2012 07:02 WIB

Kerisauan Busyro Soal Hajinya Orang Indonesia

Rep: Muhammad Hafil/ Red: Djibril Muhammad
Busyro Muqoddas.
Foto: Republika / Tahta Aidilla
Busyro Muqoddas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Setiap  tahun, Indonesia mengirimkan ratusan ribu jamaah haji ke tanah suci Makkah dan Madinah di Arab Saudi. Bahkan, jamaah haji Indonesia merupakan yang terbesar di dunia setiap tahunnya.

Namun, banyaknya jumlah jamaah haji tersebut tak menjamin menjadikan Indonesia sebagai negara yang bebas korupsi. Sebaliknya, ada beberapa orang Indonesia yang menyandang 'gelar haji' terlibat dengan praktik tindak pidana korupsi.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, merisaukan keadaan tersebut. Menurutnya, seseorang yang telah menunaikan haji namun tak melakukan perubahan dalam dirinya, tak memperoleh salah satu esensi haji, berubah ke arah yang lebih baik.

"Ini ada apa?, ada yang salah dengan hakikat pelaksanaan ibadah hajinya orang Indonesia," kata Busyro Muqoddas, Selasa (17/6)

Busyro mengatakan, dalam ibadah haji, seseorang mengikuti ritual melempar jumrah (kegiatan melempari tugu batu yang merupakan simbol iblis/kejahatan). Yaitu, jumrah Aqabah (iblis besar), jumrah Wustha (iblis menengah), dan Jumrah Ula (iblis kecil).

"Nah hakikatnya jamaah haji ketika melempar jumrah adalah memerangi kejahatan besar. Kita sudah sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang paling jahat dan besar karena merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, banyak manusia yang dirugikan akibat perbuatan korupsi," kata Busyro.

Menurut Busyro, seharusnya seseorang yang sudah melaksanakan haji dan melempar jumrah, ketika kembali ke tanah air, harus tertanam dalam dirinya dan dipraktikan bahwa ia telah melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Termasuk, memerangi dan tidak pernah lagi melakukan korupsi.

Selain itu, Busyro juga mengatakan, ciri-ciri haji mabrur (orang yang ibadah hajinya diterima Allah SWT), berdasarkan keterangan agama adalah perilakunya berubah menjadi lebih baik setelah menyelesaikan ibadah haji.

Sehingga, berdasarkan keterangan itu, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji namun tetap melakukan tindak pidana korupsi, diragukan kemabrurannya.

"Ya memang mabrur atau tidak itu kan urusannya Allah. Tapi kan ada indikasinya, bahwa mabrurnya seseorang dilihat dari akhlak dan budi pekertinya setelah haji," katanya.

Namun, Busyro mengatakan, seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji, tetap bisa memperoleh  dan mempertahankan kemabrurannya. Yaitu, dengan tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan agama, seperti melakukan korupsi.

Selain haji, Busyro juga menyindir orang-orang yang beribadah seperti shalat namun tetap melakukan korupsi. Padahal, ketika sedang shalat itu, mereka telah diancam oleh tuhan.

"Misalnya ada ayat dari surat pendek yang dibaca ketika shalat, yaitu 'fawailul lil musholin' atau maka celakalah bagi orang yang shalat. Yaitu, orang yang lalai dari shalatnya. Mereka telah mendustakan agama dengan melalaikan anak yatim dan orang miskin. Anak yatim dan orang miskin itu merupakan simbol kelompok lemah," kata Busyro mengutip Alquran, surat Al Maun.

Menurut Busyro, berdasarkan penjelasan ayat itu, ada orang yang shalat namun tidak berpihak pada anak yatim dan orang miskin. Sikap mereka itu sudah diancam Allah SWT.

"Nah ini sekarang malah ada orang yang shalat namun korupsi, menjarah, mencuri. Ini lebih fatal. Shalat yang dikerjakan orang seperti itu tidak memiliki efek sosial," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement