Jumat 13 Jul 2012 21:00 WIB

Diplomasi Sapi

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nasihin Masha

“Mau tidak mau ya harus kerja sama,” suara SBY demikian tegas. Australia sudah ketinggalan langkah dari Indonesia. Selama ini, negeri itu menikmati dagang sapi ke Indonesia. SBY mencatat, sekitar 43 persen ekspor sapi mereka ke Indonesia. Jumlah yang sangat besar. Namun, majalah The Economist mencatat bahwa ekspor sapi mereka ke Indonesia mencapai 80 persen. Hampir dua kali lipat dari angka yang dikemukakan SBY. Nilainya sekitar 318 juta dolar AS.

Kendati hubungan Indonesia-Australia naik turun, namun bisnis Australia di Indonesia aman-aman saja. Sapi hanya salah satunya. Lainnya mereka berdagang susu, sayuran, buahbuahan, dan sebagainya. Padahal, mereka sangat intimidatif. Misalnya, dalam buku putihnya, mereka menyebut adanya bahaya dari utara. Tentu maksudnya Indonesia. Polah Australia dalam menyelesaikan Timor Timur juga membuat Indonesia dipermalukan. Media-media Australia juga sangat stereo tip terhadap Indonesia.

Namun, ekspor sapi mereka ke Indonesia lancar-lancar saja. Dari 2005 ke 2009, ekspor sapi mereka ke Indonesia naik enam kali lipat. Pada 2009, Indonesia mengimpor 773 ribu ekor sapi. Secara total, Indonesia membutuhkan sekitar 1,5 juta ekor sapi per tahun. Ketergantungan yang tinggi terhadap Australia ini menyadarkan Indonesia harus berbenah. Kedaulatan dan kemandirian pangan merupakan hal mutlak. Karena itu, sejak 2009, Indonesia mencanangkan swasembada sapi.

Impor daging beku dikurangi. Demikian pula impor sapi hidup. Indonesia mulai menerapkan kuota impor. Akibatnya, pada 2010, ekspor sapi Australia ke Indonesia turun 30 persen. Jika rencana Indonesia berjalan mulus maka peternak sapi Australia akan hancur. “Mereka sangat marah,” seperti ditulis The Economist. Namun, Indonesia jalan terus. Pada 2011, menteri pertanian Indonesia mematok kuota impor sapi 500 ribu ekor saja. Australia makin menjerit. Media media Australia bahkan membuat liputan khusus tentang praktik penyembelihan sapi di Indonesia yang mereka sebut tak “ welfare animal”.

Seperti biasa: intimidatif. Mereka menuntut penghentian ekspor sapi hidup. Tentu maksudnya agar kita impor daging beku. Nilai tambahnya bisa meningkat. Mulai Juni 2011, mereka sempat menghentikan ekspor sapi utuh. Indonesia mengabaikan tekanan dan penghentian sementara itu. Mereka lupa bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia masih tergolong rendah. Masih tujuh kilogram per kapita per tahun. Jauh dibandingkan dengan negara-negara maju yang sudah mencapai 20 kg per kapita per tahun. Tanpa makan daging sapi pun tak soal. Indonesia tetap jalan terus dengan program swasembada sapi.

Tekanan itu bisa dilalui dengan mulus. Akhirnya, mereka membuka lagi keran ekspor sapi hidupnya. Tapi, Indonesia sudah makin bergerak maju. Tahun ini, Indonesia menggelontorkan Rp 450 miliar untuk kemandirian sapi. Namun, SBY tetap berbaik hati. Sekitar satu tahun setelah tindakan Australia menghentikan ekspor sapi hidupnya, SBY datang ke Darwin bertemu Julia Gillard, perdana menteri Australia, awal Juli ini. Ia menawarkan jalan keluar: peternak Australia membuka peternakan di Indonesia.

SBY mengingatkan bahwa konsumsi daging sapi Indonesia perkapita akan terus meningkat. Ini seiring naiknya kesejahteraan dan bertambahnya kelas menengah. Tapi, belum ada jawaban konkret. Itulah mengapa SBY menyatakan harus mau bekerja sama. Jika tidak mau, mereka makin ketinggalan langkah. Apalagi, peternak Brasil justru telah menyatakan minatnya, bahkan sudah berkomitmen. Karena, sebelum ke Australia, SBY sudah lebih dulu ke Brasil. Negeri sepakbola itu juga dikenal sebagai penghasil sapi.

Setelah dari Darwin, SBY langsung ke Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia meninjau langsung peternakan sapi di wilayah sabana tersebut. Ia bahkan meminta difoto khusus dengan latar belakang ribuan sapi. Program pengembangan peternakan sapi berjalan mulus. Menteri Pertanian Suswono menyampaikan bahwa populasi sapi saat ini sudah mencapai 800 ribu. Masih jauh dibandingkan jumlah sapi di Australia yang mencapai 23,3 juta ekor sapi potong.

Kendati ada kemajuan, Indonesia masih jauh dari mandiri. Apalagi, jika tingkat konsumsinya meningkat. Yang paling penting adalah pengembangan riset, kedokteran hewan, dan pembibitan. Hal ini justru yang menjadi tulang punggung ketahanan industri sapi. Ini yang harus segera mendapat porsi besar.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement