REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Anak-anak penyandang cacat mempunyai kemungkinan mengalami kekerasan 3,7 kali lebih banyak dari anak-anak normal, demikian studi oleh badan kesehatan dunia WHO yang diterbitkan Kamis.
Menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet itu, sejumlah faktor yang menyebabkan anak-anak penyandang disabilitas mempunyai resiko tinggi terkena tindak kekerasan antara lain stigma, diskriminasi dan kurangnya pengetahuan mengenai cacat serta kurangnya dukungan sosial bagi mereka yang peduli terhadap anak-anak tersebut.
Studi itu juga mengungkapkan bahwa penempatan anak-anak penyandang cacat di dalam sejumlah institusi meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan.
Para peneliti melakukan 17 studi di antara 18.374 anak-anak penyandang cacat dari tujuh negara dengan pendapatan tinggi termasuk Amerika Serikat, Inggrsi dan Prancis.
Petugas Teknis bidang Cacat dan Rehabilitasi WHO, Tom Shakespeare, mengatakan kepada wartawan pada Rabu bahwa cacat yang disebutkan di dalam studi meliputi gangguan fisik, sensor dan intelektual, gangguan mental, dan cacat gabungan.
Secara keseluruhan, menurut definisi tersebut, sebanyak 93 juta anak-anak di dunia menjadi penyandang cacat, kata dia.
Penelitian itu juga mengadopsi definisi yang lebih luas dari kekerasan, yang termasuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, pelecehan emosi dan pengabaian, atau gabungan dari hal-hal tersebut, kata Shakespeare.
Petugas Teknis Pencegahan Kekerasan WHO, Christopher Mikton, mengatakan bahwa penetapan jumlah kasus dan resiko kekerasan terhadap anak-anak penyandang cacat merupakan langkah pertama untuk mencegah kekerasan seperti itu dan mengobati mereka yang menderita karena hal tersebut.
Mikton menyarankan beberapa tindakan bisa dilakukan seperti penggunaan jasa perawat, pendidikan dari orang tua serta strategi pencegahan pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Para ahli juga menekankan pentingnya penelitian serupa di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Statistik WHO menunjukkan kira-kira 20 persen perempuan dan 5-10 persen laki-laki dilaporkan mengalami pelecehan seksual ketika masih anak-anak. Sementara 25-50 persen dari semua anak-anak dilaporkan mengalami kekerasan fisik.