REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap melakukan tindakan hukum terhadap koruptor yang berasal dari kalangan politisi. Bejibunnya politisi yang melakukan korupsi dinilai sebagai efek dari reformasi, yakni ketika kekuasan dipegang kalangan politisi.
Seperti dikatakan Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, setiap lembaga pemberantasan korupsi di berbagai negara memiliki fokus dalam pemberantasan korupsi. Di Hongkong misalnya, karena menurut masyarakat yang paling bermasalah dalam korupsi adalah polisi, maka lembaga pemberantas korupsi di sana memfokuskan memberantas korupsi dari kalangan polisi.
"Nah di Indonesia, saat ini atau pascareformasi, DPR yang berasal dari politisi memegang kekuasaan yang lebih dibanding eksekutif. Dengan kewenangan yang dimiliki itu maka wajar jika mereka yang banyak terlibat kasus korupsi," terang Feri saat berbincang dengan ROL di Jakarta, Senin (9/7).
Feri berpendapat, ada tiga kewenangan atau fungsi DPR di Indonesia. Yaitu, budjeting, legislasi, dan pengawasan. Tiga kewenangan yang dimiliki DPR itu membuat mereka merasa memiliki segalanya. Sehingga, terjadilah tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang, salah satunya korupsi berjamaah.
Menurutnya, tindakan KPK memfokuskan pemberantasan korupsi dari DPR merupakan langkah tepat. Namun, Feri mengakui tindakan KPK itu membuat mereka dicap sebagai alat komoditas politik.
"Nah supaya tudingan itu dibantah, maka KPK harus menjerat pelaku utamanya. Bukan anggota-anggotanya saja," sebut Feri.
Sejauh ini, masih kata Fery, KPK sudah proporsional dalam menindak koruptor dari kalangan DPR atau politisi. Hal tersebut terbukti dengan KPK yang menindak koruptor-koruptor dari berbagai partai.